AGAMA HINDU
HARMONISASI KEHIDUPAN DALAM KONSEP TATA RUANG RUMAH TRADISIONAL BALI
(IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA)
Oleh:
I KADEK AGUS SUYASA (1113021056/Vc)
JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2014
DOA PEMBUKA
Om
Swastyastu
Om
Avigenam Astu Namo Sidham
Om purwe jato
brahmano brahmacari
dharmam wasanas tapasodatistat
tasmajjatam brahmanam brahma
iyestham dewasca sarwe amrttna akama
Artinya :
Ya Tuhan, muridMu hadir di hadapanMu
Oh Brahman yang berselimut kesaktian dan berdiri
sebagai pertama
Tuhan, anugrahkanlah pengetahuan dan pikiran yang
tenang
Brahman yang agung, setiap makhluk hanya dapat bersinar
berkat cahayaMu yang senantiasa memancar
KATA PENGANTAR
“Om Swastyastu”
Puji syukur penulis
panjatkan kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa atas segala rahmat-Nya sehingga mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “Harmonisasi Kehidupan Dalam Konsep Tata Ruang Rumah
Tradisional Bali”
Penulisan makalah ini
dimaksudkan guna mengembangkan
pengetahuan tentang
penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari.
Serta sebagai salah satu syarat dalam mata kuliah Pendidikan Agama Hindu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki kekurangan baik dari segi
penulisan dan tata letak kalimat maupun ketepatan kata. Mengingat keterbatasan
waktu serta sumber kepustakaan yang penulis peroleh atau miliki, penulis
mengharapkan saran yang bersifat membangun dari pembaca untuk kesempurnaan
makalah ini.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak
yang memerlukan.
“Om Santhi Santhi Santhi Om”
Singaraja, Januari 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar ................................................................................................ i
Daftar
Isi ......................................................................................................... ii
Bab I
Pendahuluan .......................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah ........................................................................... 2
1.3
Tujuan Penulisan ............................................................................. 2
1.4
Manfaat Penulisan ........................................................................... 2
Bab II
Pembahasan .......................................................................................... 3
2.1.... Konsep Tri Hita Karana................................................................... 3
2.2
Konsep Rumah Tradisional Bali...................................................... 3
2.3
Pembagian Lahan Pekarangan Rumah Tradisional Bali................... 4
2.4
Bangunan Dan Tata Ruang Rumah Tradisional Bali....................... 6
Bab III
Penutup ............................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 11
3.2 Saran ............................................................................................... 12
Daftar
Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulau Bali terkenal
dengan sebutan Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Sebutan ini muncul
karena di Pulau Bali terdapat banyak pura yang digunakan untuk menyembah
Dewata. Sebagian besar masyarakat Bali beragama Hindu Dharma, sehingga
kehidupan, adat dan budaya masyarakat Bali sangat dipengaruhi falsafah-falsafah
yang diajarkan didalamnya. Budaya tradisional Bali merupakan perwujudan
pengaturan tingkah laku umat yang dilandasi agama Hindu dengan 3 (tiga) unsur
kerangka dasar, yaitu; 1) Tatwa atau filsafat, 2) Susila atau
etika 3) Upacara atau ritual. Tiga kerangka dasar berperilaku tersebut
sudah tertanam kuat di dalam diri setiap individu dalam masyarakat Bali.
Dalam kitab suci Weda,
ada beberapa konsep ilmu spesifik yang diaplikasikan dalam kehidupan para
penganutnya, yaitu; Ayurweda (Ilmu pengobatan), Dhanurweda (Seni bela diri dan persenjataan), Ayurveda dan Dhanurveda
(konsep ini juga dikenal dalam ilmu pengetahuan di Cina, dalam akupuntur dan seni
beladirinya, Gandharv Veda (Seni musik, sajak dan tari), Jyotisha (Ilmu Astrologi), Tantra, Shiksha dan Vyakara (Ilmu tata bahasa) juga Stahapatya Veda (Ilmu arsitektur, seni pahat dan ilmu geomansi). Semua konsep-konsep ilmu ini bertujuan untuk membuat kehidupan manusia
berlangsung harmonis. Hubungan harmonis tersebut terangkum dalam tiga unsur
kehidupan, yaitu Tri Hita Karana yang berarti tiga sebab kebahagiaan.
Tri Hita Karana yang menjiwai setiap sendi kehidupan manusia,
merupakan konsep yang menjelaskan keharmonisan kosmologis. Konsep Tri
Hita Karana telah menunjukkan berbagai keunggulan dan nilai-nilai
luhur yang bersifat universal dan relevan dengan lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan.
Konsepsi keharmonisan hidup juga tercermin pada tata ruang rumah
Bali. Rumah Bali seperti pada umumnya berfungsi sebagai tempat tinggal manusia
sekaligus tempat beraktivitas seperti masak, makan, tidur, mencuci, juga
sebagai tempat berlindung manusia dari kondisi alam atau cuaca. Selain itu,
rumah Bali juga digunakan sebagai tempat beribadah manusia untuk mendekatkan
diri pada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut
:
1.2.1
Bagaimana konsep Tri Hita Karana?
1.2.2
Bagaimana konsep rumah tradisional bali?
1.2.3
Bagaimana pembagian lahan pekarangan rumah tradisional
Bali?
1.2.4
Bagaimana bangunan dan tata ruang rumah tradisional Bali?
1.3 Tujuan
1.3.1.
Untuk menjelaskan konsep Tri Hita Karana.
1.3.2.
Untuk menjelaskan konsep rumah tradisional Bali.
1.3.3.
Untuk menjelaskan pembagian lahan pekarangan.
1.3.4.
Untuk menjelaskan bangunan dan tata ruang rumah
tradisional Bali?
1.4 Manfaat
1.4.1. Bagi
Penulis
Adapun manfaat yang didapat oleh
penulis adalah penulis dapat lebih melatih kemampuan dalam pembuatan makalah
ilmiah, serta penulis dapat menambah kemampuan dengan menganalisis rumusan
masalah yang telah dirumuskan dengan mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai
sumber.
1.4.2. Bagi
Pembaca
Adapun manfaat yang diperoleh oleh
pembaca makalah ini adalah dapat menambah pengetahuan berkaitan dengan konsep
Tri Hita dalam keharmonisan tata ruang rumah tradisional bali.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Tri Hita Karana
Tri Hita
Karana berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari tiga suku kata yaitu
Tri yang artinya tiga, Hita berarti kebahagiaan, dan Karana berarti penyebab.
Jadi Tri Hita Karana dapat diartikan tiga penyebab terciptanya kebahagiaan.
Bagian-bagian
Tri Hita Karana yaitu:
- Parhyangan
Parhyangan merupakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan.
Berdasarkan konsep parhyangan manusia diharapkan memiliki kedekatan bathin
dengan Tuhan, setiap aktivitas didasari oleh semangat pengabdian pada Tuhan.
- Pawongan
Pawongan merupakan konsep hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia,
sebagai sesama ciptaan Tuhan. Berdasarkan hubungan ini diharapkan muncul suatu
ikatan persaudaraan antara sesama manusia yang bersifat universal bebas dari
unsur SARA.
- Palemahan
Palemahan merupakan konsep hubungan manusia dengan lingkungannya.
Berdasarkan hubungan ini manusia diharapkan memiliki tanggung jawab pada alam
dalam mengelola alam tersebut. Manusia tidak hanya memanfaatkan alam tanpa
memperhatikan kelestariannya.
2.2 Konsep Rumah Tradisional Bali
Menurut Soebandi (Kumurur, 2009) Agama Hindu mengajarkan agar manusia
mengharmoniskan alam semesta dengan segala isinya yakni bhuana agung
(makro kosmos) dan bhuana alit (mikro kosmos), dalam kaitan ini bhuana
agung adalah lingkungan buatan atau bangunan dan bhuana alit adalah
manusia yang mendirikan dan menggunakan wadah tersebut.
Dalam hal pembangunan
rumah, masyarakat Bali (seperti masyarakat Cina dengan aturan Fengshui-nya)
mempunyai tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk tempat tinggal serta
bangunan tempat suci yang sesuai dengan landasan filosofis, etis, dan ritual.
Semua hal tersebut memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari
baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan pembangunan rumah yang disebut
Asta Kosala Kosali.
Asta Kosala Kosali merupakan cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci.
Penataan bangunan dan pengukuran jarak antar bangunan dalam satu pekarangan
didasarkan oleh ukuran tubuh sang pemilik rumah. Jadi, luas rumah nantinya akan
sesuai (ideal) dengan pemiliknya. Dalam hal pengukuran ini, masyarakat Bali
tidak menggunakan hitungan meter, tetapi menggunakan ukuran-ukuran sebagai
berikut:
·
Agu’ (sebuku jari), dua
nyari (dua jari) dan petang nyari (empat jari)
·
Agemel (selubang bulatan tangan
yang dibentuk dari mengetemukan ujung jari telunjuk dengan ujung ibu jari)
·
Alek (sepanjang jari tengah) dan akacing (sepanjang jari telunjuk)
·
Astapak batis ngandang (sepajang lima jari-jari kaki) dan astapak batis (sepanjang telapak
kaki, yaitu dari ujung tumit hingga ujung ibu jari)
·
Sedemak (segenggaman tangan atau
sekepalan tangan) dan tampak lima (sepanjang satu tangan dengan lima
jari terbuka)
·
Acengkang (sejengkal, dari ujung jari telunjuk hingga ujung ibu jari yang
direntangkan)
·
Musti (seukuran tangan
mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
·
Hasta atau Asta
(ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewasa dari pergelangan tengah tangan
sampai ujung jari tengah yang terbuka)
·
Depa (ukuran yang
dipakai antara dua bentang tangan yang direntangkan dari kiri ke kanan).
2.3 Pembagian Lahan Pekarangan
Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur keseimbangan atau keharmonisan
manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga,
memberikan turunan konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah
“Tri” berarti tiga dan “angga” berarti badan, yang lebih menekankan
tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan Nista Angga.
Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri Loka,
yaitu: Bhur Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka
(Sorga). (Dwijendra, 2003).
Lebih lanjut, hirarki
kosmologi Bali mengenai buana agung (makrokosmos) dan buana alit
(mikrokosmos), dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Swah-loka, yaitu alam semesta, tempat bersemayamnya
para dewa.
2. Bwah-loka, yaitu alam manusia dan kehidupan
keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, berhubungan dengan materialism.
3. Bhur-loka, yaitu alam nista yang menjadi
simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat
menyimpang dari dharma (tujuan). Bhur-loka juga identik dengan setra
atau kuburan serta lantai (bataran) dalam sebuah bangunan rumah
Bali.
Susunan tersebutlah yang
akan mempengaruhi tata letak bangunan dalam satu pekarangan rumah Bali. Susunan
ini mencakup keseluruhan konsep ide tentang keharmonisan hubungan antar tiap
bagiannya yang diwujudkan dalam lanskap rumah Bali.
Pada masyarakat
tradisional di Bali, dalam pembangunan rumah Bali masih memperhatikan strata
sosial dalam masyarakat. Misalnya saja, pada warna atau wangsa Kesatria, rumah
Bali dibangun megah yang kemudian disebut Puri dengan Pura
lengkap. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat Bali, siapa saja yang mampu, boleh membangun rumah atau Puri tersebut.
Hanya yang membedakan rumah tersebut adalah kelengkapan tempat
persembahyangannya saja.
2.4 Bangunan dan
Tata Ruang Rumah Bali
Undagi adalah arsitek yang ahli dalam rancang bangun termasuk pembangunan
perumahan dan lingkungannya. Secara filosofis, usaha undagi dalam
berkarya hendaknya lewat jalan dharma, dan apa yang dirancang dan
dibangun adalah bagian dari suatu kehidupan yang hidup dan lahir dari suatu
proses. Mendirikan bangunan berarti melahirkan kehidupan baru dari benda-benda
alam yang dihidupkan kembali dalam wujud bangunan. (Alit, 2003)
Pembagian susunan atau
tingkatan pada bangunan rumah Bali sangat mengikuti aturan Asta Kosala-kosali:
1.
Jaba; untuk bagian
paling luar bangunan
2.
Jaba-jero; untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang
tengah jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola
ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privasi bagi rumah
tinggal.
Adapun konsep aturan
tata ruang, konstruksi dan material dalam pembangunan rumah Bali yang yang
disebut Tri Mandala, terdiri dari:
1. Nista, susunan terbawah dari
sebuah bangunan yaitu diwujudkan dengan pondasi rumah sebagai peletak dasar
bangunan, penyangga rumah. Bahannya biasa terbuat dari batu bata atau batu
gunung.
2. Madya, bagian tengah bangunan
yaitu diwujudkan dalam bentuk bangunan dinding, jendela dan pintu yang
mengambarkan strata manusia atau alam manusia.
3. Utama,bangunan bagian atas
yaitu diwujudkan dalam bentuk atap. Tempat ini dianggap suci oleh masyarakat
Bali karena diyakini sebagai tempat tinggal dewa atau leluhur yang sudah
meninggal. Bahan yang digunakan untuk pembuatan atap pada rumah adat
tradisional Bali adalah atap ijuk dari pohon aren dan alang-alang.
Pola unit-unit rumah
tinggal sampai lingkungan perumahan sebagai tempat kediaman, secara keseluruhan
mengacu pada orientasi dan nilai-nilai religius. Simbolisme dalam merancang
perwujudan bangunan dimana tri angga adalah simbol miniatur manusia yang
terdiri dari kepala (utama angga), badan (madya angga) dan kaki (nista
angga). (Alit, 2003)
Adapun bagian-bagian
bagunan yang berada dalam satu pekarangan rumah Bali yang mengikuti pola Sanga
Mandala atau Sembilan arah, yaitu;
1. Pamerajan adalah tempat
upacara yang dipakai untuk keluarga. Pada perkampungan tradisional biasanya
setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada
sembilan petak pola ruang.
2. Umah Meten yaitu ruang yang
biasanya dipakai tidur kepala keluarga jadi posisinya harus cukup terhormat.
3. Bale Sakepat, bale ini biasanya
digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih
anak-anak.
4. Bale tiang sanga biasanya digunakan
sebagai ruang tamu.
5. Bale Dangin biasanya dipakai
untuk duduk-duduk membuat kerajinan seni atau sekedar beristirahat dan
bercengkrama bersama keluarga juga digunakan sebagai tempat untuk menyiapkan
upacara.
6. Lumbung sebagai tempat
untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.
7. Paon atau dapur yaitu
tempat memasak keluarga.
8. Aling-aling adalah bagian dari
pintu masuk, fungsinya sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak
langsung lurus ke daerah pekarangan dalam, tetapi menyamping atau belok
terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung
lurus ke dalam. Selain itu, masyarakat Bali percaya aling-aling ini dapat
menolak hal-hal buruk dari luar, sehingga hal-hal tersebut tidak langsung masuk
ke dalam pekarangan rumah.
9. Angkul-angkul yaitu pintu masuk
yang berfungsi sebagai gapura jalan masuk.
Gambar 2.
Skema sanga mandala
Jumlah tiang pada
lanskap rumah Bali menyesuaikan terhadap tipologi bangunan dan luas pekarangan
rumah. Semua sudah diatur sedemikian rupa dengan mengikuti konsep Tri Angga (utama,
madya, nista) tersebut. Adapun jumlah tiang yang terdapat pada bangunan rumah
Bali biasanya minimal berjumlah empat tiang (sakepat) dan maksimal
berjumlah dua belas tiang (sakaroras) dan untuk pekarangan rumah kecil,
maksimal tiang rumah yang digunakan sebanyak empat atau enam tiang saja,
sementara jika pekarangan rumahnya luas, maka bisa menggunakan hingga dua belas
tiang pada bangunan rumahnya. Tiang enam dan Sembilan bisa digunakan untuk Bale
Dangin (tempat menyiapkan upacara atau kalau pada hari-hari biasa digunakan
sebagai kamar tidur pria) dan Bale Dauh (fungsinya sebagai kamar tidur
juga), tiang delapan biasa digunakan untuk Bale Daja (tempat tidur anak
perempuan) dan pamerajan (ruang serba guna). Sementara itu, tiang empat
biasanya digunakan untuk bangunan-bangunan sederhana seperti Paon (dapur)
atu juga pamerajan yang berukuran kecil. Pada dasarnya, semua itu masih
harus menyesuaikan letak dan fungsinya dalam rumah tersebut.
Tipe bangunan dalam
konsep tata ruang rumah Bali bukanlah single building sebagaimana
rumah-rumah pada masyarakat luar Bali, melainkan dengan multibuilding atau
banyak bangunan dan kecil-kecil. Hal ini bertujuan agar dalam satu lahan atau
pekarangan rumah terdapat ruang luar atau natah yang sekarang bisa
disebut ruang terbuka hijau. Para undagi (perancang bagunan Bali) sudah
merencanakan pembangunan rumah Bali agar selalu ada ruang terbuka. Hal ini
menjadi suatu kewajiban bagi masyarakat Bali yang hendak membangun rumah. Natah
atau ruang terbuka memiliki filosofi tersendiri yaitu dengan adanya ruang
terbuka ini, manusia (mikrokosmos/bhuana alit) bisa berhubungan langsung
dengan alam (makrokosmos/bhuana agung). Ruang terbuka ini juga biasanya
juga digunakan sebagai tempat untuk upacara-upacara keagamaan (karena di Bali
banyak sekali upacara keagamaan), memelihara ternak, tempat bermain anak-anak,
dan juga sebagai tempat untuk bersosialisasi (kumpul bersama keluarga besar,
tetangga dan sebagainya).
Pada masyarakat Bali
tradisional, ternak berada dalam satu lahan pekarangan rumah. Zona kandang
hewan berada di bagian nistaning nista. Namun, pada saat ini terutama di
daerah yang sudah maju (kota), kandang hewan ternak yang berada di pekarangan
rumah sudah dipindahkan ke luar permukiman masyarakat. Kandang ternak tersebut
diletakkan di areal perkebunan maupun persawahan, karena masyarakat sudah lebih
memperhatikan kebersihan dan kesehatan di sekitar rumah tinggal. Masyarakat
hanya berternak ayam di dalam pekarangan rumahnya. Sementara anjing dibiarkan
liar karena masyarakat menganggap anjing sebagai penjaga yang setia. Di desa
Tenganan, sebagai desa adat yang oleh pemerintah dijadikan desa wisata, kandang
ternak sudah berada di luar permukiman. Hal ini dilakukan karena memang sudah
diatur sedemikian rupa agar wisatawan lebih nyaman berada di sana. Berbeda
dengan desa-desa tradisional Bali lainnya, masih terdapat kandang ternak sapi
atau babi yang menyatu dengan pekarangan rumah penduduk.
Pada umumnya masyarakat
Bali memelihara anjing sebagai penjaga rumah. Selain itu, masyarakat Bali juga
membangun dua tugu yang diletakkan di halaman depan (di samping angkul-angkul
dan di halaman belakang rumah Bali). Kedua tugu ini disebut penunggun karang.
Tugu penunggun karang ini berfungsi seperti penjaga rumah dari hal-hal
yang tidak baik dari arah depan maupun dari arah belakang rumah. Pada tugu ini
terdapat banten atau sesajen sebagai wujud bhakti pemilik rumah terhadap
makhluk yang menjaga rumah.
Dalam proses pembuatan
rumah Bali terutama pada rumah-rumah yang masih tradisonal, bahan-bahan yang
digunakan berasal dari alam. Pemanfaatan bahan-bahan alam ini sesuai dengan
konsp arsitektur Bali, yaitu menyelaraskan diri dengan alam. Material atau
bahan bangunan rumah biasanya merupakan bahan-bahan yang mudah di dapat
di daerah sekitarnya, seperti batu paras, alang-alang, sirap bambu, dan ijuk
dari pohon aren. Demi mengharmoniskan diri dengan alam, masyarakat Bali tetap
mempertahankan warna alami bangunan rumah (tidak mewarnai dinding rumah dengan
cat).
Ijuk atau alang-alang
menjadi pilihan masyarakat sebagai penutup bagian atas bangunan rumah Bali.
Secara fungsional, ijuk atau alang-alang selain sebagai unsur alami pada atap
rumah Bali, juga dapat berfungsi menahan hawa panas dalam ruangan dan menjadikan
ruangan terasa sejuk. Namun, untuk penerapannya pada bangunan Pura memiliki
makna yang berbeda lagi. Pada bangunan pura, penggunaan atap berbahan
ijuk melambangkan meru atau gunung yang jumlahnya selalu ganjil. Pura
merupakan bangunan suci dan sakral karena bangunan ini merupakan tempat
beribadah umat Hindu. Meru sebagai puncak tertinggi dianggap sebagai
tempat bersemayamnya Dewa-dewi berstana (bertahta).
Pura dalam rumah Bali bernama Sanggah. Dalam setiap pekarangan rumah
Bali, keberadaan sanggah hukumnya wajib. Satu pura ada yang untuk
digunakan oleh beberapa keluarga, namun ada pula satu pura untuk satu
keluarga saja. Pura tersebut berguna sebagai pura keluarga yang
mana terdapat satu stana (semacam candi kecil) khusus untuk sembahyang
kepada leluhur (pitra) selain untuk sembahyang kepada Tuhan Yang Maha
Esa, Sang Hyang Widhi.
Bali terkenal dengan
berbagai upacara adat dan keagamaan yan sangat kental. Hampir setiap hari ada
kegiatan upacara. Apalagi dalam hajat besar seperti membangun rumah. Adapun
beberapa upacara yang harus dilakukan saat membangun rumah Bali ialah, sebagai
berikut;
a.
Upacara Nyapuh
sawah dan tegal. Apabila ada tanah sawah atau tegal
dipakai untuk tempat tinggal
b.
Upacara
pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan. Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca
warna. Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis,
prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus,
canang geti- geti.
c.
Upakara
Pemelaspas: jerimpen satu dulang, tumpeng putih kuning, ikan
ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita,
sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik,
ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat satu
kelan, canang dua tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan
kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara.
Setelah upacara sebelum
pembangunan rumah selesai, maka rumah akan mulai di bangun dengan di bawah
control seorang undagi dan ketika rumah telah selesai dibangun dan pemilik
rumah sudah menempati rumah, masyarakat Bali mempunyai etika tersendiri dalam
menempati rumah Bali tersebut dalam hal membina hubungan dengan lingkungan
barunya. Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan, masyarakat Bali
didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya
Parisudha.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tri Hita Karana yang berarti tiga sebab kebahagiaan, menjiwai setiap sendi kehidupan
manusia yang menjelaskan keharmonisan kosmologis. Konsep Tri Hita
Karana telah menunjukkan berbagai keunggulan dan nilai-nilai luhur
yang bersifat universal dan relevan dengan lingkungan dan
pembangunan dalam masyarakat Bali.
Konsepsi keharmonisan
hidup tersebut juga tercermin pada tata ruang rumah Bali. Dalam hal
pembangunan rumah, masyarakat Bali mempunyai tata cara, tata letak, dan tata
bangunan untuk tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang sesuai dengan
landasan filosofis, etis, dan ritual. Semua hal tersebut memperhatikan konsepsi
perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta
pelaksanaan pembangunan rumah yang disebut Asta Kosala Kosali.
Pembangunan rumah Bali
sarat akan unsur-unsur religiusitas dan kepekaan terhadap lingkungan alam.
Mulai dari pemilihan bahan bangunan, upacara sebelum membangun rumah hingga
konsep ketataruangan dalam rumah Bali diatur sedemikian rupa agar seimbang
antara kepentingan religi dan keseimbangan alam. Hal ini menunjukkan bahwa tata
ruang dalam rumah Bali sangat memperhatikan keharmonisan antara pemilik rumah
(manusia) dengan Tuhan, pemilik rumah dengan lingkungan alam, dan antar sesama
pemilik pekarangan rumah (tetangga). Konsep tata ruang rumah Bali ini menjadi
bukti nyata betapa keharmonisan kehidupan masyarakat Bali tercermin didalamnya.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis kemukakan, yaitu kita
sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, khususnya umat
Hindu hendaknya mejaga hubungan manusia dengan tuhan, manusia dengan sesamanya
dan manusia dengan lingkungan disekitar agar tercipta keharmonisan sesuai
dengan konsep Tri Hita Karana.
DAFTAR PUSTAKA
Pudja,
G. 2004. Bhagawad Gita. Surabaya:
Paramita
Menaka,
IM. 2010. Sarasamusccaya. Singaraja:
Indra jaya
Winawan,
W. 2002. Materi Substansi Kajian Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Hindu. Jakarta: Ditjen
Dikti Depdiknas
Budiarjo, E. 1983. Menuju Arsitektur
Indonesia. Bandung:Penerbit Alumi
Yayasan
Bali Galang. 2003. Tri Hita Karana Dengan
Agama Hindu. Tersedia dalam www.Babad Bali.com. Diakses tanggal 10 Desember
2013.
Bandem,
I M. 2003. Seni Dalam Perspektif
Kebudayaan. Tersedia dalam http://www.kongresbud.budpar.go.id/made_bandem.htm.
Diakses pada tanggal 10 Desember 2013.
Wahana
Budaya Bali. 2009. Arsitektur Tradisional
Bali. Tersedia dalam http://www.wahana-budaya-indonesia.com.
Diakses pada tanggal 10 Desember 2013
DOA PENUTUP
Om Mantrahinam kryahinam,
Bhakti-hinam parameswara tad pujitam mahadewa,
Paripurna tad astu me,
Om dirghayu nirwignham sukkha wrdhi nugrahakam
Om Hyang
Widhi doa kami kurang,
perbuatan
kami tiada sempurna,
bhakti
hamba juga tiada sempurna,
maka itu
kami memuja Mu Iswara yang agung,
semoga
dapat menganugrahkan kesempurnaan/ kemampuan
melakukan
kewajiban
Om Hyang
Widhi semoga kami senantiasa sukses
tanpa
halangan dan memperoleh kebahagiaan
Om Santhi, Santhi, Santhi Om
No comments:
Post a Comment