Monday, 17 February 2014

harmonisasi kehidupan dalam konsep tata ruang rumah tradisional bali

AGAMA HINDU

HARMONISASI KEHIDUPAN DALAM KONSEP TATA RUANG RUMAH TRADISIONAL BALI
(IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA)
Oleh:
I KADEK AGUS SUYASA                (1113021056/Vc)


JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2014



DOA PEMBUKA

Om Swastyastu
Om Avigenam Astu Namo Sidham

Om  purwe jato brahmano brahmacari
dharmam wasanas tapasodatistat
tasmajjatam brahmanam brahma
iyestham dewasca sarwe amrttna akama

Artinya :
Ya Tuhan, muridMu hadir di hadapanMu
Oh Brahman yang berselimut kesaktian dan berdiri sebagai pertama
Tuhan, anugrahkanlah pengetahuan dan pikiran yang tenang
Brahman yang agung, setiap makhluk hanya dapat bersinar berkat cahayaMu yang senantiasa memancar















KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala rahmat-Nya sehingga mampu menyelesaikan makalah yang berjudul Harmonisasi Kehidupan Dalam Konsep Tata Ruang Rumah Tradisional Bali
Penulisan makalah ini dimaksudkan guna mengembangkan pengetahuan tentang penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari. Serta sebagai salah satu syarat dalam mata kuliah Pendidikan Agama Hindu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki kekurangan baik dari segi penulisan dan tata letak kalimat maupun ketepatan kata. Mengingat keterbatasan waktu serta sumber kepustakaan yang penulis peroleh atau miliki, penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

“Om Santhi Santhi Santhi Om”


                                                                                  Singaraja,   Januari 2014


          Penulis







DAFTAR ISI


Kata Pengantar ................................................................................................ i
Daftar Isi ......................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan .......................................................................................... 1
1.1           Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2           Rumusan Masalah ........................................................................... 2
1.3           Tujuan Penulisan ............................................................................. 2
1.4           Manfaat Penulisan ........................................................................... 2

Bab II Pembahasan .......................................................................................... 3
2.1.... Konsep Tri Hita Karana................................................................... 3
2.2         Konsep Rumah Tradisional Bali...................................................... 3
2.3         Pembagian Lahan Pekarangan Rumah Tradisional Bali................... 4
2.4         Bangunan Dan Tata Ruang Rumah Tradisional Bali....................... 6

Bab III Penutup ............................................................................................... 11
3.1      Kesimpulan ..................................................................................... 11
3.2      Saran ............................................................................................... 12
Daftar Pustaka
















BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pulau Bali terkenal dengan sebutan Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Sebutan ini muncul karena  di Pulau Bali terdapat banyak pura yang digunakan untuk menyembah Dewata. Sebagian besar masyarakat Bali beragama Hindu Dharma, sehingga kehidupan, adat dan budaya masyarakat Bali sangat dipengaruhi falsafah-falsafah yang diajarkan didalamnya. Budaya tradisional Bali merupakan perwujudan pengaturan tingkah laku umat yang dilandasi agama Hindu dengan 3 (tiga) unsur kerangka dasar, yaitu; 1) Tatwa atau filsafat, 2) Susila atau etika 3) Upacara atau ritual. Tiga kerangka dasar berperilaku tersebut sudah tertanam kuat di dalam diri setiap individu dalam masyarakat Bali.
Dalam kitab suci Weda, ada beberapa konsep ilmu spesifik yang diaplikasikan dalam kehidupan para penganutnya, yaitu; Ayurweda (Ilmu pengobatan), Dhanurweda (Seni bela diri dan persenjataan), Ayurveda dan Dhanurveda (konsep ini juga dikenal dalam ilmu pengetahuan di Cina, dalam akupuntur dan seni beladirinya, Gandharv Veda (Seni musik, sajak dan tari), Jyotisha (Ilmu Astrologi), Tantra, Shiksha dan Vyakara (Ilmu tata bahasa) juga Stahapatya Veda (Ilmu arsitekturseni pahat dan ilmu geomansi). Semua konsep-konsep ilmu ini bertujuan untuk membuat kehidupan manusia berlangsung harmonis. Hubungan harmonis tersebut terangkum dalam tiga unsur kehidupan, yaitu Tri Hita Karana yang berarti tiga sebab kebahagiaan. Tri Hita Karana yang menjiwai setiap sendi kehidupan manusia, merupakan konsep yang menjelaskan keharmonisan kosmologis. Konsep Tri Hita Karana telah menunjukkan berbagai keunggulan dan nilai-nilai luhur yang bersifat universal dan relevan dengan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Konsepsi keharmonisan hidup juga tercermin pada tata ruang rumah Bali. Rumah Bali seperti pada umumnya berfungsi sebagai tempat tinggal manusia sekaligus tempat beraktivitas seperti masak, makan, tidur, mencuci, juga sebagai tempat berlindung manusia dari kondisi alam atau cuaca. Selain itu, rumah Bali juga digunakan sebagai tempat beribadah manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1        Bagaimana konsep Tri Hita Karana?
1.2.2        Bagaimana konsep rumah tradisional bali?
1.2.3        Bagaimana pembagian lahan pekarangan rumah tradisional Bali?
1.2.4        Bagaimana bangunan dan tata ruang rumah tradisional Bali?

1.3  Tujuan
1.3.1.      Untuk menjelaskan konsep Tri Hita Karana.
1.3.2.      Untuk menjelaskan konsep rumah tradisional Bali.
1.3.3.      Untuk menjelaskan pembagian lahan pekarangan.
1.3.4.      Untuk menjelaskan bangunan dan tata ruang rumah tradisional Bali?

 1.4 Manfaat
1.4.1.   Bagi Penulis
Adapun manfaat yang didapat oleh penulis adalah penulis dapat lebih melatih kemampuan dalam pembuatan makalah ilmiah, serta penulis dapat menambah kemampuan dengan menganalisis rumusan masalah yang telah dirumuskan dengan mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber.
1.4.2.   Bagi Pembaca
Adapun manfaat yang diperoleh oleh pembaca makalah ini adalah dapat menambah pengetahuan berkaitan dengan konsep Tri Hita dalam keharmonisan tata ruang rumah tradisional bali.






BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Konsep Tri Hita Karana
Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari tiga suku kata yaitu Tri yang artinya tiga, Hita berarti kebahagiaan, dan Karana berarti penyebab. Jadi Tri Hita Karana dapat diartikan tiga penyebab terciptanya kebahagiaan.
Bagian-bagian Tri Hita Karana yaitu:
  1. Parhyangan
Parhyangan merupakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan. Berdasarkan konsep parhyangan manusia diharapkan memiliki kedekatan bathin dengan Tuhan, setiap aktivitas didasari oleh semangat pengabdian pada Tuhan.
  1. Pawongan
Pawongan merupakan konsep hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia, sebagai sesama ciptaan Tuhan. Berdasarkan hubungan ini diharapkan muncul suatu ikatan persaudaraan antara sesama manusia yang bersifat universal bebas dari unsur SARA.
  1. Palemahan
Palemahan merupakan konsep hubungan manusia dengan lingkungannya. Berdasarkan hubungan ini manusia diharapkan memiliki tanggung jawab pada alam dalam mengelola alam tersebut. Manusia tidak hanya memanfaatkan alam tanpa memperhatikan kelestariannya.

2.2  Konsep Rumah Tradisional Bali
Menurut Soebandi (Kumurur, 2009) Agama Hindu mengajarkan agar manusia mengharmoniskan alam semesta dengan segala isinya yakni bhuana agung (makro kosmos) dan bhuana alit (mikro kosmos), dalam kaitan ini bhuana agung adalah lingkungan buatan atau bangunan dan bhuana alit adalah manusia yang mendirikan dan menggunakan wadah tersebut.
Dalam hal pembangunan rumah, masyarakat Bali (seperti masyarakat Cina dengan aturan Fengshui-nya) mempunyai tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang sesuai dengan landasan filosofis, etis, dan ritual. Semua hal tersebut memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan pembangunan rumah yang disebut Asta Kosala Kosali.
Asta Kosala Kosali merupakan cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. Penataan bangunan dan pengukuran jarak antar bangunan dalam satu pekarangan didasarkan oleh ukuran tubuh sang pemilik rumah. Jadi, luas rumah nantinya akan sesuai (ideal) dengan pemiliknya. Dalam hal pengukuran ini, masyarakat Bali tidak menggunakan hitungan meter, tetapi menggunakan ukuran-ukuran sebagai berikut:
·         Agu’ (sebuku jari), dua nyari (dua jari) dan petang nyari (empat jari)
·         Agemel (selubang bulatan tangan yang dibentuk dari mengetemukan ujung jari telunjuk dengan ujung ibu jari)
·         Alek (sepanjang jari tengah) dan akacing (sepanjang jari telunjuk)
·         Astapak batis ngandang (sepajang lima jari-jari kaki) dan astapak batis (sepanjang telapak kaki, yaitu dari ujung tumit hingga ujung ibu jari)
·         Sedemak (segenggaman tangan atau sekepalan tangan) dan tampak lima (sepanjang satu tangan dengan lima jari terbuka)
·         Acengkang (sejengkal, dari ujung jari telunjuk hingga ujung ibu jari yang direntangkan)
·         Musti (seukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
·         Hasta atau Asta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewasa dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
·         Depa  (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang direntangkan dari kiri ke kanan).

2.3  Pembagian Lahan Pekarangan
Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur keseimbangan atau keharmonisan manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga, memberikan turunan konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah “Tri” berarti tiga dan “angga” berarti badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan Nista Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (Sorga). (Dwijendra, 2003).
Lebih lanjut, hirarki kosmologi Bali mengenai buana agung (makrokosmos) dan buana alit (mikrokosmos), dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Swah-loka, yaitu alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.
2.      Bwah-loka, yaitu alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, berhubungan dengan materialism.
3.      Bhur-loka, yaitu alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma (tujuan). Bhur-loka juga identik dengan setra atau kuburan serta lantai (bataran) dalam sebuah bangunan rumah Bali.
Susunan tersebutlah yang akan mempengaruhi tata letak bangunan dalam satu pekarangan rumah Bali. Susunan ini mencakup keseluruhan konsep ide tentang keharmonisan hubungan antar tiap bagiannya yang diwujudkan dalam lanskap rumah Bali.
Pada masyarakat tradisional di Bali, dalam pembangunan rumah Bali masih memperhatikan strata sosial dalam masyarakat. Misalnya saja, pada warna atau wangsa Kesatria, rumah Bali dibangun megah yang kemudian disebut Puri dengan Pura lengkap. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Bali, siapa saja yang mampu, boleh membangun rumah atau Puri tersebut. Hanya yang membedakan rumah tersebut adalah kelengkapan tempat persembahyangannya saja.

2.4  Bangunan dan Tata Ruang Rumah Bali
Undagi adalah arsitek yang ahli dalam rancang bangun termasuk pembangunan perumahan dan lingkungannya. Secara filosofis, usaha undagi dalam berkarya hendaknya lewat jalan dharma, dan apa yang dirancang dan dibangun adalah bagian dari suatu kehidupan yang hidup dan lahir dari suatu proses. Mendirikan bangunan berarti melahirkan kehidupan baru dari benda-benda alam yang dihidupkan kembali dalam wujud bangunan. (Alit, 2003)
Pembagian susunan atau tingkatan pada bangunan rumah Bali sangat mengikuti aturan Asta Kosala-kosali:
1.      Jaba;  untuk bagian paling luar bangunan
2.      Jaba-jero; untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privasi bagi rumah tinggal.
Adapun konsep aturan tata ruang, konstruksi dan material dalam pembangunan rumah Bali yang yang disebut Tri Mandala, terdiri dari:
1.      Nista, susunan terbawah dari sebuah bangunan yaitu diwujudkan dengan pondasi rumah sebagai peletak dasar bangunan, penyangga rumah. Bahannya biasa terbuat dari batu bata atau batu gunung.
2.      Madya, bagian tengah bangunan yaitu diwujudkan dalam bentuk bangunan dinding, jendela dan pintu yang mengambarkan strata manusia atau alam manusia.
3.      Utama,bangunan bagian atas yaitu diwujudkan dalam bentuk atap. Tempat ini dianggap suci oleh masyarakat Bali karena diyakini sebagai tempat tinggal dewa atau leluhur yang sudah meninggal. Bahan yang digunakan untuk pembuatan atap pada rumah adat tradisional Bali adalah atap ijuk dari pohon aren dan alang-alang.
Pola unit-unit rumah tinggal sampai lingkungan perumahan sebagai tempat kediaman, secara keseluruhan mengacu pada orientasi dan nilai-nilai religius. Simbolisme dalam merancang perwujudan bangunan dimana tri angga adalah simbol miniatur manusia yang terdiri dari kepala (utama angga), badan (madya angga) dan kaki (nista angga). (Alit, 2003)
Adapun bagian-bagian bagunan yang berada dalam satu pekarangan rumah Bali yang mengikuti pola Sanga Mandala atau Sembilan arah, yaitu;
1.      Pamerajan adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada sembilan petak pola ruang.
2.      Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kepala keluarga jadi posisinya harus cukup terhormat.
3.      Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih anak-anak.
4.      Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang tamu.
5.      Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat kerajinan seni atau sekedar beristirahat dan bercengkrama bersama keluarga juga digunakan sebagai tempat untuk menyiapkan upacara.
6.      Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.
7.      Paon atau dapur yaitu tempat memasak keluarga.
8.      Aling-aling adalah bagian dari pintu masuk, fungsinya sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak langsung lurus ke daerah pekarangan dalam, tetapi menyamping atau belok terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Selain itu, masyarakat Bali percaya aling-aling ini dapat menolak hal-hal buruk dari luar, sehingga hal-hal tersebut tidak langsung masuk ke dalam pekarangan rumah.
9.      Angkul-angkul yaitu pintu masuk yang berfungsi sebagai gapura jalan masuk.

Gambar 2. Skema sanga mandala
Jumlah tiang pada lanskap rumah Bali menyesuaikan terhadap tipologi bangunan dan luas pekarangan rumah. Semua sudah diatur sedemikian rupa dengan mengikuti konsep Tri Angga (utama, madya, nista) tersebut. Adapun jumlah tiang yang terdapat pada bangunan rumah Bali biasanya minimal berjumlah empat tiang (sakepat) dan maksimal berjumlah dua belas tiang (sakaroras) dan untuk pekarangan rumah kecil, maksimal tiang rumah yang digunakan sebanyak empat atau enam tiang saja, sementara jika pekarangan rumahnya luas, maka bisa menggunakan hingga dua belas tiang pada bangunan rumahnya. Tiang enam dan Sembilan bisa digunakan untuk Bale Dangin (tempat menyiapkan upacara atau kalau pada hari-hari biasa digunakan sebagai kamar tidur pria) dan Bale Dauh (fungsinya sebagai kamar tidur juga), tiang delapan biasa digunakan untuk Bale Daja (tempat tidur anak perempuan) dan pamerajan (ruang serba guna). Sementara itu, tiang empat biasanya digunakan untuk bangunan-bangunan sederhana seperti Paon (dapur) atu juga pamerajan yang berukuran kecil. Pada dasarnya, semua itu masih harus menyesuaikan letak dan fungsinya dalam rumah tersebut.
Tipe bangunan dalam konsep tata ruang rumah Bali bukanlah single building sebagaimana rumah-rumah pada masyarakat luar Bali, melainkan dengan multibuilding atau banyak bangunan dan kecil-kecil. Hal ini bertujuan agar dalam satu lahan atau pekarangan rumah terdapat ruang luar atau natah yang sekarang bisa disebut ruang terbuka hijau. Para undagi (perancang bagunan Bali) sudah merencanakan pembangunan rumah Bali agar selalu ada ruang terbuka. Hal ini menjadi suatu kewajiban bagi masyarakat Bali yang hendak membangun rumah. Natah atau ruang terbuka memiliki filosofi tersendiri yaitu dengan adanya ruang terbuka ini, manusia (mikrokosmos/bhuana alit) bisa berhubungan langsung dengan alam (makrokosmos/bhuana agung). Ruang terbuka ini juga biasanya juga digunakan sebagai tempat untuk upacara-upacara keagamaan (karena di Bali banyak sekali upacara keagamaan), memelihara ternak, tempat bermain anak-anak, dan juga sebagai tempat untuk bersosialisasi (kumpul bersama keluarga besar, tetangga dan sebagainya).
Pada masyarakat Bali tradisional, ternak berada dalam satu lahan pekarangan rumah. Zona kandang hewan berada di bagian nistaning nista. Namun, pada saat ini terutama di daerah yang sudah maju (kota), kandang hewan ternak yang berada di pekarangan rumah sudah dipindahkan ke luar permukiman masyarakat. Kandang ternak tersebut diletakkan di areal perkebunan maupun persawahan, karena masyarakat sudah lebih memperhatikan kebersihan dan kesehatan di sekitar rumah tinggal. Masyarakat hanya berternak ayam di dalam pekarangan rumahnya. Sementara anjing dibiarkan liar karena masyarakat menganggap anjing sebagai penjaga yang setia. Di desa Tenganan, sebagai desa adat yang oleh pemerintah dijadikan desa wisata, kandang ternak sudah berada di luar permukiman. Hal ini dilakukan karena memang sudah diatur sedemikian rupa agar wisatawan lebih nyaman berada di sana. Berbeda dengan desa-desa tradisional Bali lainnya, masih terdapat kandang ternak sapi atau babi yang menyatu dengan pekarangan rumah penduduk.
Pada umumnya masyarakat Bali memelihara anjing sebagai penjaga rumah. Selain itu, masyarakat Bali juga membangun dua tugu yang diletakkan di halaman depan (di samping angkul-angkul dan di halaman belakang rumah Bali). Kedua tugu ini disebut penunggun karang. Tugu penunggun karang ini berfungsi seperti penjaga rumah dari hal-hal yang tidak baik dari arah depan maupun dari arah belakang rumah. Pada tugu ini terdapat banten atau sesajen sebagai wujud bhakti pemilik rumah terhadap makhluk yang menjaga rumah.
Dalam proses pembuatan rumah Bali terutama pada rumah-rumah yang masih tradisonal, bahan-bahan yang digunakan berasal dari alam. Pemanfaatan bahan-bahan alam ini sesuai dengan konsp arsitektur Bali, yaitu menyelaraskan diri dengan alam. Material atau bahan bangunan rumah biasanya  merupakan bahan-bahan yang mudah di dapat di daerah sekitarnya, seperti batu paras, alang-alang, sirap bambu, dan ijuk dari pohon aren. Demi mengharmoniskan diri dengan alam, masyarakat Bali tetap mempertahankan warna alami bangunan rumah (tidak mewarnai dinding rumah dengan cat).
Ijuk atau alang-alang menjadi pilihan masyarakat sebagai penutup bagian atas bangunan rumah Bali. Secara fungsional, ijuk atau alang-alang selain sebagai unsur alami pada atap rumah Bali, juga dapat berfungsi menahan hawa panas dalam ruangan dan menjadikan ruangan terasa sejuk.  Namun, untuk penerapannya pada bangunan Pura memiliki makna yang berbeda lagi. Pada bangunan pura, penggunaan atap berbahan ijuk melambangkan meru atau gunung yang jumlahnya selalu ganjil. Pura merupakan bangunan suci dan sakral karena bangunan ini merupakan tempat beribadah umat Hindu. Meru sebagai puncak tertinggi dianggap sebagai tempat bersemayamnya Dewa-dewi berstana (bertahta).
Pura dalam rumah Bali bernama Sanggah. Dalam setiap pekarangan rumah Bali, keberadaan sanggah hukumnya wajib. Satu pura ada yang untuk digunakan oleh beberapa keluarga, namun ada pula satu pura untuk satu keluarga saja. Pura tersebut berguna sebagai pura keluarga yang mana terdapat satu stana (semacam candi kecil) khusus untuk sembahyang kepada leluhur (pitra) selain untuk sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi.
Bali terkenal dengan berbagai upacara adat dan keagamaan yan sangat kental. Hampir setiap hari ada kegiatan upacara. Apalagi dalam hajat besar seperti membangun rumah. Adapun beberapa upacara yang harus dilakukan saat membangun rumah Bali ialah, sebagai berikut;
a.    Upacara Nyapuh sawah dan tegal. Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal
b.      Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan. Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna. Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
c.       Upakara Pemelaspas: jerimpen satu dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat satu kelan, canang dua tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara.
Setelah upacara sebelum pembangunan rumah selesai, maka rumah akan mulai di bangun dengan di bawah control seorang undagi dan ketika rumah telah selesai dibangun dan pemilik rumah sudah menempati rumah, masyarakat Bali mempunyai etika tersendiri dalam menempati rumah Bali tersebut dalam hal membina hubungan dengan lingkungan barunya. Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan, masyarakat Bali didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha.
BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Tri Hita Karana yang berarti tiga sebab kebahagiaan, menjiwai setiap sendi kehidupan manusia yang menjelaskan keharmonisan kosmologis. Konsep Tri Hita Karana telah menunjukkan berbagai keunggulan dan nilai-nilai luhur yang bersifat universal dan relevan dengan lingkungan dan pembangunan dalam masyarakat Bali.
Konsepsi keharmonisan hidup tersebut juga tercermin pada tata ruang rumah Bali. Dalam hal pembangunan rumah, masyarakat Bali mempunyai tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang sesuai dengan landasan filosofis, etis, dan ritual. Semua hal tersebut memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan pembangunan rumah yang disebut Asta Kosala Kosali.
Pembangunan rumah Bali sarat akan unsur-unsur religiusitas dan kepekaan terhadap lingkungan alam. Mulai dari pemilihan bahan bangunan, upacara sebelum membangun rumah hingga konsep ketataruangan dalam rumah Bali diatur sedemikian rupa agar seimbang antara kepentingan religi dan keseimbangan alam. Hal ini menunjukkan bahwa tata ruang dalam rumah Bali sangat memperhatikan keharmonisan antara pemilik rumah (manusia) dengan Tuhan, pemilik rumah dengan lingkungan alam, dan antar sesama pemilik pekarangan rumah (tetangga). Konsep tata ruang rumah Bali ini menjadi bukti nyata betapa keharmonisan kehidupan masyarakat Bali tercermin didalamnya.

3.2  Saran
Adapun saran yang dapat penulis kemukakan, yaitu kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, khususnya umat Hindu hendaknya mejaga hubungan manusia dengan tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungan disekitar agar tercipta keharmonisan sesuai dengan konsep Tri Hita Karana.


DAFTAR PUSTAKA

Pudja, G. 2004. Bhagawad Gita. Surabaya: Paramita
Menaka, IM. 2010. Sarasamusccaya. Singaraja: Indra jaya
Winawan, W. 2002. Materi Substansi Kajian Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Hindu. Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas
Budiarjo, E. 1983. Menuju Arsitektur Indonesia. Bandung:Penerbit Alumi
Yayasan Bali Galang. 2003. Tri Hita Karana Dengan Agama Hindu. Tersedia dalam www.Babad Bali.com. Diakses tanggal 10 Desember 2013.
Bandem, I M. 2003. Seni Dalam Perspektif Kebudayaan. Tersedia dalam http://www.kongresbud.budpar.go.id/made_bandem.htm. Diakses pada tanggal 10 Desember 2013.
Wahana Budaya Bali. 2009. Arsitektur Tradisional Bali. Tersedia dalam http://www.wahana-budaya-indonesia.com. Diakses pada tanggal 10 Desember 2013























DOA PENUTUP

Om Mantrahinam kryahinam,
Bhakti-hinam parameswara tad pujitam mahadewa,
Paripurna tad astu me,

Om dirghayu nirwignham sukkha wrdhi nugrahakam

Om Hyang Widhi doa kami kurang,
perbuatan kami tiada sempurna,
bhakti hamba juga tiada sempurna,
maka itu kami memuja Mu Iswara yang agung,
semoga dapat menganugrahkan kesempurnaan/ kemampuan
melakukan kewajiban

Om Hyang Widhi semoga kami senantiasa sukses
tanpa halangan dan memperoleh kebahagiaan

Om Santhi, Santhi, Santhi Om


No comments:

Post a Comment