Thursday, 20 February 2014

PENYIMPANGAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA DALAM MASALAH KENAKALAN REMAJA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Oleh karenanya, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial (TP-KJM, 2002).
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasanbahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa. Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka. Untuk dapat memahami remaja, maka perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-dimensi tersebut.


1.2    Rumusan Masalah
       Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu:
1.      Bagaimanakah definisi, tujuan, fungsi dan ruang lingkup pembangunan karakter bangsa ?
2.      Bagaimanakah kerangka dasar pembangunan karakter bangsa ?
3.      Bagaimanakah permasalahan pembangunan karakter bangsa saat ini ?
4.      Bagaimanakah manifestasi krisis karakter bangsa ?
5.      Bagaimanakah cara membentuk karakter bangsa lewat pendidikan ?
6.      Apa manfaat pendidikan pancasila dalam membangun karakter bangsa ?

Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
                  1.         Untuk mengetahui definisi, tujuan, fungsi dan ruang lingkup pembangunan karakter bangsa.
                  2.         Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab krisisnya pembangunan karakter bangsa.
                  3.         Untuk mengetahui kerangka dasar pembangunan karakter bangsa.
                  4.         Untuk mengetahui cara membentuk karakter bangsa lewat pendidikan.
                  5.         Untuk mengetahui manfaat pendidikan pancasila dalam membangun karakter bangsa.

1.2  Metode Penulisan
Adapun metode yang dipergunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode kajian pustaka, yaitu dengan mencari sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan isi makalah ini.





BAB II
PEMBAHASAN


2.2     PENYIMPANGAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA DALAM MASALAH KENAKALAN REMAJA
2.2.1    Remaja Dan Rokok
Di masa modern ini, merokok merupakan suatu pemandangan yang sangat tidak asing. Kebiasaan merokok dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi siperokok, namun dilain pihak dapat menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun orang – orang disekitarnya. Berbagai kandungan zat yang terdapat di dalam rokok memberikan dampak negatif bagi tubuh penghisapnya. Beberapa motivasi yang melatarbelakangi seseorang merokok adalah untuk mendapat pengakuan (anticipatory beliefs), untuk menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs), dan menganggap perbuatannya tersebut tidak melanggar norma (permissive beliefs/ fasilitative) (Joewana, 2004). Hal ini sejalan dengan kegiatan merokok yang dilakukan oleh remaja yang biasanya dilakukan didepan orang lain, terutama dilakukan di depan kelompoknya karena mereka sangat tertarik kepada kelompok sebayanya atau dengan kata lain terikat dengan kelompoknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi remaja merokok, yaitu :
1. Pengaruh 0rangtua
Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa anak-anak muda yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik yang keras lebih mudah untuk menjadi perokok dibanding anak-anak muda yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia (Baer & Corado dalam Atkinson, Pengantar psikologi, 1999:294).
2. Pengaruh teman.
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Dari fakta tersebut ada dua kemungkinan yang terjadi, pertama remaja tadi terpengaruh oleh teman-temannya atau bahkan temanteman remaja tersebut dipengaruhi oleh diri remaja tersebut yang akhirnya mereka semua menjadi perokok. Diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja non perokok (Al Bachri, 1991)
3. Faktor Kepribadian.
Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, membebaskan diri dari kebosanan. Namun satu sifat kepribadian yang bersifat prediktif pada pengguna obat-obatan (termasuk rokok) ialah konformitas sosial. Orang yang memiliki skor tinggi pada berbagai tes konformitas sosial lebih mudah menjadi pengguna dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor yang rendah (Atkinson,1999).
4. Pengaruh Iklan.
Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remajaseringkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut. (Mari Juniarti, Buletin RSKO, tahun IX,1991).

2.2.2    Penyimpangan Seks Pada Remaja
Kita telah ketahui bahwa kebebasan bergaul remaja sangatlah diperlukan agar mereka tidak "kuper" dan "jomblo" yang biasanya jadi anak mama. "Banyak teman maka banyak pengetahuan". Namun tidak semua teman kita sejalan dengan apa yang kita inginkan. Mungkin mereka suka hura-hura, suka dengan yang berbau pornografi, dan tentu saja ada yang bersikap terpuji. benar agar kita tidak terjerumus ke pergaulan bebas yang menyesatkan. Masa remaja merupakan suatu masa yang menjadi bagian dari kehidupan manusia yang di dalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remajaini akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan diri remaja itu sendiri. Masa remaja dapat dicirikan dengan banyaknya rasa ingin tahu pada diri seseorang dalam berbagai hal, tidak terkecuali bidang seks. Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, organ reproduksipun mengalami perkembangan dan pada akhirnya akan mengalami kematangan. Kematangan organ reproduksi dan perkembangan psikologis remaja yang mulai menyukai lawan jenisnya serta arus media informasi baik elektronik maupun non elektronik akan sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual individu remaja tersebut. Salah satu masalah yang sering timbul pada remaja terkait dengan masa awal kematangan organ reproduksi pada remaja adalah masalah kehamilan yang terjadi pada remaja diluar pernikahan. Apalagi apabila Kehamilan tersebut terjadi pada usia sekolah. Siswi yang mengalami kehamilan biasanya mendapatkan respon dari dua pihak. Pertama yaitu dari pihak sekolah, biasanya jika terjadi kehamilan pada siswi, maka yang sampai saat ini terjadi adalah sekolah meresponya dengan sangat buruk dan berujung dengan dikeluarkannya siswi tersebut dari sekolah. Kedua yaitu dari lingkungan di mana siswi tersebut tinggal, lingkungan akan cenderung mencemooh dan mengucilkan siswi tersebut. Hal tersebut terjadi jika karena masih kuatnya nilai norma kehidupan masyarakat kita. Kehamilan remaja adalah isu yang saat ini mendapat perhatian pemerintah. Karena masalah kehamilan remaja tidak hanya membebani remaja sebagai individu dan bayi mereka namun juga mempengaruhi secara luas pada seluruh masyarakat dan juga membebani sumber-sumber kesejahteraan. Namun, alasan-alasannya tidak sepenuhnya dimengerti. Beberapa sebab kehamilan termasuk rendahnya pengetahuan tentang keluarga berencana, perbedaan budaya yang menempatkan harga diri remaja di lingkungannya, perasaan remaja akan ketidakamanan atau impulsifisitas, ketergantungan kebutuhan, dan keinginan yang
sangat untuk mendapatkan kebebasan. Selain masalah kehamilan pada remaja masalah yang juga sangat menggelisahkan berbagai kalangan dan juga banyak terjadi pada masa remaja adalah banyaknya remaja yang mengidap HIV/AIDS.
Remaja dan HIV/AIDS
Penularan virus HIV ternyata menyebar sangat cepat di kalangan remaja dan kaum muda. Penularan HIV di Indonesia terutama terjadi melalui hubungan seksual yang tidak aman, yaitu sebanyak 2.112(58%) kasus. Dari beberapa penelitian terungkap bahwa semakin lama semakin banyak remaja di bawah usia 18 tahun yang sudah melakukan hubungan seks. Cara penularan lainnya adalah melalui jarum suntik (pemakaian jarum suntik secara bergantian pada pemakai narkoba, yaitu sebesar 815 (22,3%) kasus dan melalui transfusi darah 4 (0,10%) kasus). FKUl-RSCM melaporkan bahwa lebih dari 75% kasus infeksi HIV di kalangan remaja terjadi di kalangan pengguna narkotika. Jumlah ini merupakan kenaikan menyolok dibanding beberapa tahun yang lalu. Beberapa penyebab rentannya remaja terhadap HIV/AIDS adalah
1.    Kurangnya informasi yang benar mengenai perilaku seks yang aman dan upaya pencegahan yang bisa dilakukan oleh remaja dan kaum muda. Kurangnya informasi ini disebabkan adanya nilai-nilai agama, budaya, moralitas dan lain-lain, sehingga remaja seringkali tidak memperoleh informasi maupun pelayanan kesehatan reproduksi yang sesungguhnya dapat membantu remaja terlindung dari berbagai resiko, termasuk penularan HIV/AIDS.
2.    Perubahan fisik dan emosional pada remaja yang mempengaruhi dorongan seksual. Kondisi ini mendorong remaja untuk mencari tahu dan mencoba-coba sesuatu yang baru, termasuk melakukan hubungan seks dan penggunaan narkoba.
3.    Adanya informasi yang menyuguhkan kenikmatan hidup yang diperoleh melalui seks, alkohol, narkoba, dan sebagainya yang disampaikan melalui berbagai media cetak atau elektronik.
4.    Adanya tekanan dari teman sebaya untuk melakukan hubungan seks, misalnya untuk membuktikan bahwa mereka adalah jantan.
5.    Resiko HIV/AIDS sukar dimengerti oleh remaja, karena HIV/AIDS mempunyai periode inkubasi yang panjang, gejala awalnya tidak segera terlihat.
6.    Informasi mengenai penularan dan pencegahan HIV/AIDS rupanya juga belum cukup menyebar di kalangan remaja. Banyak remaja masih mempunyai pandangan yang salah mengenai HIV/AIDS.
7.    Remaja pada umumnya kurang mempunyai akses ke tempat pelayanan kesehatan reproduksi dibanding orang dewasa. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya remaja yang terkena HIV/AIDS tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi, kemudian menyebar ke remaja lain, sehingga sulit dikontrol.


2.2.3    Remaja Dan Penyalahgunaan Minuman Keras Dan Narkoba
Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN),jumlah kasus penyalahgunaan Narkoba di Indonesia dari tahun 1998 - 2003 adalah 20.301 orang, di mana 70% diantaranya berusia antara 15 -19 tahun
Pengaruh Minuman Keras dan Narkoba Terhadap Tubuh (Fisik dan Mental)
Pengaruh alkohol terhadap tubuh bervariasi, tergantung pada beberapa faktor yaitu :
_ Jenis dan jumlah alkohol yang dikonsumsi
_ Usia, berat badan, dan jenis kelamin
_ Makanan yang ada di dalam lambung
_ Pengalaman seseorang minum – minuman beralkohol
_ Situasi dimana orang minum – minuman beralkohol
Pengaruh jangka pendek
Walaupun pengaruh terhadap individu berbeda – beda, terdapat hubungan antara konsentrasi alkohol di dalam darah (Blood Alkohol Concentration – BAC) dan efeknya. Euphoria ringan dan stimulasi terhadap perilaku lebih aktif seiring dengan meningkatnya konsentrasi alkohol di dalam darah. Sayangnya orang banyak beranggapan bahwa penampilan mereka menjadi lebih baik dan mereka mengabaikan efek buruknya.\
Resiko intoksikasi (”mabuk”)
Gejala intoksikasi alkohol yang paling umum adalah ”mabuk”, ”teler” sehingga dapat menyebabkan cedera dan kematian. Penurunan kesadaran seperti koma dapat terjadi pada keracunan alkohol yang berat demikian juga henti nafas dan kematian. Selain kematian, efek jangka pendek alkohol dapat menyebabkan hilangny produktifitas kerja (misalnya ”teler, kecelakaan akibat ngebut). Sebagai tambahan, alkohol dapat menyebabkan perilaku kriminal. 70 % dari narapidana menggunakan alkohol sebelum melakukan tindak kekerasan dan lebih dari 40 % kekerasan dalam rumah tangga dipengaruhi oleh alkohol
Pengaruh Jangka Panjang
Mengkonsumsi alkohol berlebiha dalam jangka panjang dapat menyebabkan :
Kerusakan jantung, Tekanan Darah Tinggi, Stroke, Kerusakan hati, Kanker saluran pencernaan, Gangguan pencernaan lainnya (misalnya tukak lambung), Impotensi dan berkurangnya kesuburan, Meningkatnya resiko terkena kanker payudara, Kesulitan tidur, Kerusakan otak dengan perubahan kepribadian dan suasana perasaan, Sulit dalam mengingat dan berkonsentrasi.
Toleransi dan Ketergantungan
Pengguna alkohol yang terus menerus dapat mengalami toleransi dan ketergantungan. Toleransi adalah peningkatan penggunaan alkohol dari jumlah yang kecil menjadi lebih besar untuk mendapatkan pengaruh yang sama. Sedangkan ketergantungan adalah keadaan dimana alkohol menjadi bagian yang penting dalam kehidupannya, banyak waktu yang terbuang karena memikirkan (cara mendapatkan, mengkonsumsi dan bagaimana cara berhenti). Pengguna alkohol akan mengalami kesulitan bagaimana cara menghentikan atau mengendalikan jumlah alkohol yang dikonsumsi.
Gejala Putus Alkohol
Seseorang yang mengalami ketergantungan secara fisik terhadap alkohol akan mengalami gejala putus alkohol apabila menghentikan atau mengurangi penggunaannya. Gejala biasanya terjadi mulai 6 – 24 jam setelah minum yang terakhir. Gejala ini dapat berlangsung selama 5 hari, diantaranya adalah :
Gemetar, Mual, Cemas, Depresi, Berkeringat yang banyak, Nyeri kepala, Sulit tidur (berlangsung beberapa minggu) Gejala putus alkohol sangat berbahaya. Orang yang minum lebih dari 8 standar minum perhari dianjurkan untuk berkonsultasi ke dokter (sebelum memutuskan untuk berhenti minum) untuk mendapatkan terapi medis guna mencegah komplikasi
Sedangkan berdasarkan efeknya, narkoba bisa dibedakan menjadi tiga:
1. Depresan, yaitu menekan sistem sistem syaraf pusat dan mengurangi aktifitas fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang, bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tak sadarkan diri. Bila kelebihan dosis bisa mengakibatkan kematian. Jenis narkoba depresan antara lain opioda, dan berbagai turunannya seperti morphin dan heroin. Contoh yang populer sekarang adalah Putaw.
2.  Stimulan, merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan serta kesadaran. Jenis stimulan: Kafein, Kokain, Amphetamin. Contoh yang sekarang sering dipakai adalah Shabu-shabu dan Ekstasi.
3.  Halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya persepsi atau mengakibatkan halusinasi. Halusinogen kebanyakan berasal dari tanaman seperti mescaline dari kaktus dan psilocybin dari jamur-jamuran. Selain itu ada jugayang diramu di laboratorium seperti LSD. Yang paling banyak dipakai adalah marijuana atau ganja..
Dampak Penyalahgunaan Narkoba
Bila narkoba digunakan secara terus menerus atau melebihi takaran yang telah ditentukan akan mengakibatkan ketergantungan. Kecanduan inilah yang akan mengakibatkan gangguan fisik dan psikologis, karena terjadinya kerusakan pada sistem syaraf pusat (SSP) dan organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, hati dan ginjal. Dampak penyalahgunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkoba dapat terlihat pada fisik, psikis maupun sosial seseorang.
1. Dampak Fisik:
1. Gangguan pada system syaraf (neurologis) seperti: kejang-kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi
2. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti: infeksi akut otot jantung, gangguan peredaran darah
3. Gangguan pada kulit (dermatologis) seperti: penanahan (abses), alergi, eksim
4. Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti: penekanan fungsi pernapasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru
5. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, murus-murus, suhu tubuh meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur
6. Dampak terhadap kesehatan reproduksi adalah gangguan padaendokrin, seperti: penurunan fungsi hormon reproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan fungsi seksual
7. Dampak terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara lain perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan
    amenorhoe (tidak haid)
8. Bagi pengguna narkoba melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum suntik secara bergantian, risikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C, dan HIV yang hingga saat ini belum ada obatnya
9. Penyalahgunaan narkoba bisa berakibat fatal ketika terjadi Over Dosis yaitu konsumsi narkoba melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian
2. Dampak Psikis:
1. Lamban kerja, ceroboh kerja, sering tegang dan gelisah
2. Hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga
3. Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal
4. Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan
5. Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri
3. Dampak Sosiai:
1. Gangguan mental, anti-sosial dan asusila, dikucilkan oleh lingkungan
2. Merepotkan dan menjadi beban keluarga
3. Pendidikan menjadi terganggu, masa depan suram
Dampak fisik, psikis dan sosial berhubungan erat. Ketergantungan fisik akan mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa (sakaw) bila terjadi putus obat (tidak mengkonsumsi obat pada waktunya) dan dorongan psikologis berupa keinginan sangat kuat untuk mengkonsumsi (bahasa gaulnya sugest). Gejata fisik dan psikologis ini juga berkaitan dengan gejala sosial seperti dorongan untuk membohongi orang tua, mencuri, pemarah, manipulatif, dll.
Bahaya Narkoba Bagi Remaja
Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa. Perkembangan seseorang dalam masa anak-anak dan remaja akan membentuk perkembangan diri orang tersebut di masa dewasa. Karena itulah bila masa anak-anak dan remaja rusak karena narkoba, maka suram atau bahkan hancurlah masa depannya. Pada masa remaja, justru keinginan untuk mencoba-coba, mengikuti trend dan gaya hidup, serta bersenang-senang besar sekali. Walaupun semua kecenderungan itu wajar-wajar saja, tetapi hal itu bisa juga  memudahkan remajauntuk terdorong menyalahgunakan narkoba. Data menunjukkan bahwa jumlah pengguna narkoba yang paling banyak adalah kelompok usia remaja. Masalah menjadi lebih gawat lagi bila karena penggunaan narkoba, para remaja tertular dan menularkan HIV/AIDS di kalangan remaja. Hal ini telah terbukti dari pemakaian narkoba melalui jarum suntik secara bergantian. Bangsa ini akan kehilangan remaja yang sangat banyak akibat penyalahgunaan narkoba dan merebaknya HIV/AIDS. Kehilangan remaja sama dengan kehilangan sumber daya manusia bagi bangsa.

2.3       MENANGANI MASALAH YANG TERJADI PADA REMAJA
Selain ketiga masalah psikososial yang sering terjadi pada remaja seperti yang disebutkan dan dibahas diatas terdapat pula masalah masalah lain pada remaja seperti tawuran, kenakalan remaja, kecemasan, menarik diri, kesulitan belajar, depresi dll. Semua masalah tersebut perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak mengingat remaja merupakan calon penerus generasi bangsa. Ditangan remaja lah masa depan bangsa ini digantungkan. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam upaya untuk mencegah semakin meningkatnya masalah yang terjadi pada remaja, yaitu antara lain :
Peran Orangtua :
· Menanamkan pola asuh yang baik pada anak sejak prenatal dan balita
· Membekali anak dengan dasar moral dan agama
· Mengerti komunikasi yang baik dan efektif antara orangtua – anak
· Menjalin kerjasama yang baik dengan guru
· Menjai tokoh panutan bagi anak baik dalam perilaku maupun dalam hal
  menjaga lingkungan yang sehat
· Menerapkan disiplin yang konsisten pada anak
· Hindarkan anak dari NAPZA
Peran Guru :
· Bersahabat dengan siswa
· Menciptakan kondisi sekolah yang nyaman
· Memberikan keleluasaan siswa untuk mengekspresikan diri pada kegiatan
   ekstrakurikuler
· Menyediakan sarana dan prasarana bermain dan olahraga
· Meningkatkan peran dan pemberdayaan guru BP
· Meningkatkan disiplin sekolah dan sangsi yang tegas
· Meningkatkan kerjasama dengan orangtua, sesama guru dan sekolah lain
· Meningkatkan keamanan terpadu sekolah bekerjasama dengan Polsek
setempat
· Mewaspadai adanya provokator
· Mengadakan kompetisi sehat, seni budaya dan olahraga antar sekolah
· Menciptakan kondisi sekolah yang memungkinkan anak berkembang
secara sehat dalah hal fisik, mental, spiritual dan sosial
· Meningkatkan deteksi dini penyalahgunaan NAPZA
Peran Pemerintah dan masyarakat :
· Menghidupkan kembali kurikulum budi pekerti
· Menyediakan sarana/prasarana yang dapat menampung agresifitas anak
melalui olahraga dan bermain
· Menegakkan hukum, sangsi dan disiplin yang tegas
· Memberikan keteladanan
· Menanggulangi NAPZA, dengan menerapkan peraturan dan hukumnya
secara tegas
· Lokasi sekolah dijauhkan dari pusat perbelanjaan dan pusat hiburan
Peran Media :
· Sajikan tayangan atau berita tanpa kekerasan (jam tayang sesaui usia)
· Sampaikan berita dengan kalimat benar dan tepat (tidak provokatif)
· Adanya rubrik khusus dalam media masa (cetak, elektronik) yang bebas
biaya khusus untuk remaja

2.4     IMPLIKASI PANCASILA DALAM MEMBENTUK KARAKTER BANGSA LEWAT  PENDIDIKAN
Aspek pendidikan adalah aspek terpenting dalam membentuk karakter bangsa. Dengan mengukur kualitas pendidikan, maka kita dapat melihat potret bangsa yang sebenarnya, karena aspek pendidikanlah yang menentukan masa depan seseorang, apakah dia dapat memberikan suatu yang membanggakan bagi bangsa dan dapat mengembalikan jati diri bangsa atau sebaliknya.
Pada masalah aspek otoritas pendidikan, anak didik sebetulnya hanya ditekankan pada sapek kognitif saja. Akibatnya adalah anak didik yang diberi materi pelajaran hanya sekedar ‘tahu’ dan ‘mengenal’ dengan apa yang didapatkannya, tanpa memahami apa yang mereka pelajari apalagi menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Padahal aspek yang lainnya, seperti afektif dan psikomotorik adalah hal penting yang harus didik. Karena institusi pendidikan seharusnya dapat membuat anak didik menerapkan apa yang diajari, karena sesungguhnya itulah kegunaan dari ilmu pengetahuan. Apakah anak didik di bangsa ini hanya akan menjadi ‘manusia robot’ yang tidak memiliki rasa toleransi dan apatis pada kehidupan sosialnya? Lalu bagaimana generasi seperti ini dapat mengembalikan jati diri bangsa? Kita tidak tahu standar apa yang dipakai dalam otoritas pendidikan di negara ini, yang akhirnya anak didik yang dihasilkan dari institusi pendidikan di negara ini tidak banyak yang mampu untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di tempat pendidikannya, apalagi untuk mengajarkannya pada orang lain. Penanaman karakter anak didik dengan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik tidak akan berhasil menghasilkan generasi penerus yang memberikan dampak positif bagi bangsa. Mungkin memang nilai di atas kertas raport dan IPK terlihat bagus dan memuaskan, akan tetapi ketika anak didik tidak mampu menerapkan ilmu yang mereka dapatkan apa gunanya ilmu yang mereka punya? Otoritas pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh dunia. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu tanpa aktualisasi ilmu, akan tetapi pembentukan karakter diri dan bangsa dengan ilmu yang didapat, hingga akhirnya mereka para generasi muda dapat mengembalikan jati diri bangsa dengan ilmu yang mereka punya.
Banyaknya faktor atau media yang mempengaruhi pembentukan karakter ini menyebabkan pendidikan untuk pengembangan karakter bukan sebuah usaha yang mudah. Secara normatif, pembentukan atau pengembangan karakter yang baik memerlukan kualitas lingkungan yang baik juga. Dari sekian banyak  Faktor atau media yang berperan dalam pembentukan karakter, dalam risalah ini akan dilihat peran tiga media yang saya yakini sangat besar pengaruhnya, yaitu:
1.      Keluarga
Keluarga adalah komunitas pertama di mana manusia, sejak usia dini, belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah seseorang,  sejak dia sadar lingkungan,  belajar tata-nilai atau moral. Karena tata-nilai yang diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka di keluargalah proses pendidikan karakter berawal. Pendidikan di keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa, memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu seperti kejujuran, kedermawanan, kesedehanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat dunia sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan dia –berbeda status sosial, berbeda suku, berbeda agama, berbeda ras, berbeda latar belakang budaya. Di keluarga juga seseorang mengembangkan konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup ini atau pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan hidup yang berhasil, dan wawasan  mengenai masa depan.
Dari sudut pandang pentingnya keluarga sebagai basis pendidikan karakter, maka tidak salah kalau krisis karakter yang terjadi di Indonesia sekarang ini bisa dilihat sebagai salah satu cerminan gagalnya pendidikan di keluarga. Korupsi misalnya, bisa dilihat sebagai kegagalan pendidikan untuk menanamkan dan menguatkan nilai kejujuran dalam keluarga. Orang tua yang membangun kehidupannya di atas tindakan yang korup, akan sangat sulit menanamkan nilai kejujuran pada anak-anaknya. Mereka mungkin tidak menyuruh anaknya agar menjadi orang yang tidak jujur, namun mereka cenderung tidak akan melihat sikap dan perilaku jujur dalam kehidupan sebagai salah satu nilai yang sangat penting yang harus dipertahankan mati-matian. Ini mungkin bisa dijadikan satu penjelasan mengapa korupsi di Indonesia mengalami alih generasi. Ada pewarisan sikap permisif terhadap korupsi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
2.      Media masa.
Dalam era kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sekarang ini, salah satu faktor yang berpengaruh sangat besar dalam pembangunan atau sebaliknya  juga perusakan karakter masyarakat atau bangsa adalah media massa,  khususnya media elektronik, dengan pelaku utamanya adalah televisi. Sebenarnya besarnya peran media, khususnya media cetak dan radio, dalam pembangunan karakter bangsa telah dibuktikan secara nyata oleh para pejuang kemerdekaan. Bung Karno, Bung Hattta, Ki Hajar Dewantoro, melakukan pendidikan bangsa untuk menguatkan karakter bangsa melalui tulisan-tulisan di surat kabar waktu itu. Bung Karno dan Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan, keberanian dan persatuan melalui radio. Mereka, dalam keterbatasannya, memanfaatkan secara cerdas dan arif teknologi yang ada pada saat itu untuk membangun karakter bangsa, terutama sekali: kepercayaan diri bangsa, keberanian, kesediaaan berkorban, dan rasa persatuan. Sayangnya kecerdasan dan kearifan yang telah ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan dalam memanfaatkan media massa untuk kepentingan bangsa makin sulit kita temukan sekarang. Media massa sekarang memakai teknologi yang makin lama makin canggih. Namun tanpa kecerdasan dan kearifan, media massa yang didukung teknologi canggih tersebut justru akan melemahkan atau merusak karakter bangsa. Saya tidak ragu mengatakan, media elektronik di Indonesia , khususnya televisi, sekarang ini kontribusinya ’nihil’ dalam pembangunan karakter bangsa. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak ada program televisi yang baik. Namun sebagian besar program televisi justru lebih menonjolkan karakter buruk daripada karakter baik. Sering kali pengaruh lingkungan keluarga yang baik justru dirusak oleh siaran media televisi. Di keluarga, anak-anak dididik untuk menghindari kekerasan, namun acara TV justru penuh dengan adegan kekerasan. Di rumah, anak-anak dididik untuk hidup sederhana, namun acara sinetron di tevisi Indonesia  justru memamerkan kemewahan. Di rumah anak-anak dididik untuk hidup jujur, namun tayangan di televisi Indonesia justru secara tidak langsung menunjukkan ’kepahlawanan’ tokoh-tokoh yang justru di mata publik di anggap ’kaisar’ atau ’pangeran-pangeran’ koruptor. Para guru agama mengajarkan bahwa membicarakan keburukan orang lain dan bergosip itu tidak baik, namun acara televisi, khususnya infotainment, penuh dengan gosip. Bapak dan ibu guru di sekolah mendidik para murid untuk berperilaku santun, namun suasana sekolah di sinetron Indonesia banyak menonjolkan perilaku yang justru tidak santun dan melecehkan guru. Secara umum, banyak tayangan di televisi Indonesia, justru ’membongkar’ anjuran berperilaku baik yang ditanamkan di di rumah oleh orang tua dan oleh para guru di sekolah.
3.      Pendidikan formal.
Pendidikan formal, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, diharapkan berperan besar dalam pembangunan karakter. Lembaga-lembaga pendidikan formal diharapkan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun demikian pengalaman Indonesia selama empat dekade terakhir ini menunjukkan bahwa sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dengan cara-cara pendidikan yang dilakukannya sekarang belum banyak berkontribusi dalam hal ini. Di atas telah diuraikan, kecenderungan lembaga pendidikan formal yang merosot hanya menjadi lembaga-lembaga pelatihan adalah salah satu sumber penyebabnya. Pelatihan memusatkan perhatian pada pengembangan keterampilan dan pengalihan pengetahuan. Sedangkan pendidikan mencakup bahkan mengutamakan pengembangan jati diri atau karakter, tidak terbatas hanya pada pengalihan pengetahuan atau mengajarkan keterampilan. Harus diakui bahwa pendidikan formal di sekolah-sekolah di Indonesia, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, secara umum menghabiskan bagian terbesar waktunya untuk melakukan pelatihan daripada pendidikan. Kegiatan pendidikan telah teredusir menjadi kegiatan ’mengisi’ otak para siswa sebanyak-banyaknya, dan kurang perhatian pada perkembangan ’hati’ mereka. Keberhasilan seorang guru diukur dari kecepatannya ’mengisi’ otak para siswanya. Sekolah menjadi ’pabrik’ untuk menghasilkan orang-orang yang terlatih, namun belum tentu terdidik.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa secara praktek pendidikan sama sekali terpisah dari pelatihan. Dalam pendidikan dikembangkan juga berbagai keterampilan. Namun pengembangan keterampilan saja tidak dengan sendirinya berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan pada lembaga yang secara resmi diberi nama lembaga pendidikan, seperti universitas, institut teknologi, dan yang lainnya.
Di pihak lain, seorang pelatih yang bermutu dapat dengan cerdas memakai kegiatan pelatihan menjadi kendaraan efektif untuk pendidikan. Pelatih sepak bola dapat memakai kegiatan pelatihan untuk menumbuhkan dan menguatkan sikap sportif, gigih, kerjasama tim, kesediaan berbagi, berlapang dada dalam kekalahan, dan rendah hati dalam kemenangan. Masalah kita sekarang, tanpa disadari sudah terjadi degradasi proses-proses dan program-program yang dimaksudkan untuk pendidikan menjadi proses dan program pelatihan. Di pihak lain belum nampak tanda-tanda kegiatan pelatihan dimanfaatkan secara optimal sebagai wahana untuk pendidikan.


Tuesday, 18 February 2014

definisi perkembangan peserta didik

BAB I
PENDAHULUAN

1.1         LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan salah satu wahana penting untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki pribadi yang unggul. Hal ini sebagaimana tercantum dalam undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan yang sangat mulia tersebut merupakan tanggung jawab guru untuk menuntun peserta didik mengembangkan dirinya dan peserta didik itu sendiri dalam mengembangkan kemampuannya. Perkembangan manusia dalam masyarakat modern ditandai oleh serangkaian tugas dimana individu harus belajar sepanjang hidupnya. Keberhasilan dalam perkembangan individu diharapkan dapat melahirkan kebahagiaan dan kesuksesan bagi individu untuk menyelesaikan tugas-tugas berikutnya. Sebaliknya kegagalan dalam mencapai tugas-tugas perkembangan itu dapat mengakibatkan  ketidakbahagiaan bagi individu, penolakan oleh masyarakat, dan kesulitan dengan tugas-tugas berikutnya.
Perkembangan merupakan suatu konsep yang cukup rumit dan komplek oleh karena itu untuk memahami perkembangan peserta didik tersebut, kita harus memahami terlebih dahulu definisi perkembangan itu sendiri. Definisi perkembangan yang diapaparkan oleh para ahli sangat beragam. Keberagaman konsep-konsep tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu aliran asosiasi, aliran psikologi Gestalt, dan aliran sosiologis.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin mengkaji lebih jauh definisi perkembangan menurut konsepsi aliran-aliran tersebut melalui sebuah makalah dengan judul “ Konsepsi Definisi Perkembangan”.

1.2         RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu:
1.      bagaimanakah definisi perkembangan menurut konsepsi aliran Asosiasi?
2.      bagaimanakah definisi perkembangan menurut konsepsi aliran Psikologi Gestalt?
3.      bagaimanakah definisi perkembangan menurut konsepsi aliran Sosiologis?

1.3         TUJUAN
Sejalan dengan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      menganalisis definisi perkembangan menurut konsepsi aliran Asosiasi
2.      menganalisis definisi perkembangan menurut konsepsi aliran Psikologi Gestal
3.      menganalisis definisi perkembangan menurut konsepsi aliran Sosiologis

1.4         MANFAAT
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagi Penulis
Pembuatan makalah ini telah memberikan berbagai pengalaman bagi penulis, seperti pengalaman dalam mengumpulkan bahan dari berbagai sumber baik buku-buku maupun artikel-artikel yang relevan dengan masalah yang dikaji. Selain itu penulis juga mendapatkan berbagai pengalaman mengenai teknik penulisan makalah, teknik pengutipan, dan teknik penggabungan materi dari berbagai sumber.
2.      Bagi Pembaca
Mahasiswa yang membaca makalah ini akan dapat memahami konsep definisi perkembangan menurut aliran asosiasi, psikologi gestalt, dan aliran sosiologis. Makalah ini juga dapat dijadikan sumber refrensi bagi mahasiswa untuk mengembangkan pengetahuannya mengenai definisi perkembangan.























                          


BAB II
PEMBAHASAN

2.1         DEFINISI PERKEMBANGAN
Secara sederhana Seifert & Hoffnug (Desmita, 2005:4) mendefinisikan perkembangan sebagai “Long term changes in a person’s growth, feeling, patterns of thinking, social relationship, and motor skill.” Sementara itu, Chaplin (Desmita, 2002:4) mengartikan perkembangan sebagai: (1) perubahan yang berkesinambungan dan progresif dalam organisme, dari lahir sampai mati; (2) pertumbuhan; (3) perubahan dalam bentuk dan dalam integrasi dari bagian-bagian jasmaniah ke dalam bagian-bagian fungsional; (4) kedewasaan atau kemunculan pola-pola asasi dari tingkah laku yang tidak dipelajari. Danim & Khairil (2010) dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pendidikan menjelaskan pengertian perkembangan adalah perubahan yang sistematis, progresif, dan berkesinambungan dalam diri individu sejak lahir hingga akhir hayatnya. Perubahan itu dijalani oleh anak manusia khususnya sejak lahir hingga mencapai tingkat kedewasaan atau kematangan. Sistematis mengandung makna bahwa perkembangan itu dalam makna normal jelas urutannya. Progresif bermakna perkembangan itu merupakan metamorphosis menuju kondisi ideal. Berkesinambungan bermakna ada konsistensi laju perkembangan itu sampai dengan tingkat optimum. Sejalan dengan pendapat diatas Sunarto & Hartono (2002:43) menyatakan bahwa perkembangan merupakan suatu proses yang menggambarkan prilaku kehidupan sosial manusia pada posisi yang harmonis didalam lingkungan masyarakat yang lebih luas dan kompleks.
Kalau kita cermati pendapat para ahli diatas ternyata, pengertian perkembangan bermacam-macam sekali, akan tetapi betapapun juga berbeda-bedanya pendapat para ahli tersebut, namun semuanya mengakui bahwa perkembangan itu adalah suatu perubahan, perubahan kearah yang lebih maju, lebih dewasa. Secara teknis perubahan tersebut biasanya disebut proses. Jadi pada garis besarnya para ahli sependapat, bahwa perkembangan itu adalah suatu proses. Tetapi apabila persoalan kita lanjutkan dengan mempersoalkan proses apa, maka di sini kita dapatkan lagi bermacam-macam jawaban, yang pada pokoknya berpangkal kepada pendirian masing-masing ahli. Pendapat atau konsepsi yang bermacam-macam itu pada pokoknya dapat kita golongkan menjadi tiga golongan, yaitu :
1.      konsepsi-konsepsi para ahli yang mengikuti aliran Asosiasi;
2.      konsepsi-konsepsi para ahli yang mengikuti aliran Gestalt;
3.      konsepsi-konsepsi para ahli yang mengikuti aliran Sosiologisme.

2.2         DEFINISI PERKEMBANGAN MENURUT KONSEPSI ALIRAN ASOSIASI

2.2.1          Asal Mula Munculnya Aliran Asosiasi
Aliran asosiasi merupakan pengembangan dari empirisme pada masa Renaisans yang menguatkan studi tentang manusia. Aliran asosiasi merupakan bagian dari psikologi kontemporer abad 19 yang mempercayai bahwa proses psikologi pada dasarnya adalah ‘asosiasi ide.’ Aliran ini masih merupakan pendapat-pendapat beberapa tokoh mengenai manusia dan jiwa manusia. Awal mula munculnya aliran asosiasi yaitu berawal dari pemikiran tentang hukum-hukum asosiasi misalnya contiguity, similarity dan cause-effect. oleh penganut paham empirisme (Hari & Indrayani, 2010:1).
Awal mula berkembangnya aliran asosiasi yaitu dipelopori oleh James Mill yang pendapatnya disetujui oleh John Locke. James Mill berpendapat jiwa manusia diibaratkan sebagai mental chemistry. Uraiannya yang terkenal dalam hubungan ini adalah mengenai ide (idea) dikatakannya bahwa unsur atau elemen terkecil dari jiwa manusia (human mind) ialah simple idea. James Mill berpendapat bahwa simple idea bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan sesuatu yang diperoleh. Sebab apabila simple idea yang satu bergabung dengan simple idea yang lain akan terbentuk apa yang disebut complex idea. Kemudian, apabila complex idea yang satu bergabung dengan complex idea yang lain akan terbentuk apa yang disebutnya compound idea (gabungan ide). Tergabungnya simple idea yang satu dengan simple idea yang lain hanya mungkin terjadi oleh adanya asosiasi (Hari & Indrayani, 2010:1).



2.2.2          Tokoh-Tokoh Aliran Asosiasi
a.      John Locke
Gambar 1. John Locke
Sumber: http://www.wpclipart.com

 
John Locke (Desmita, 2005:14) mengemukakan bahwa pengalaman dan pendidikan merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan anak. Menurut Locke, isi kejiwaan anak ketika dilahirkan adalah ibarat secarik kertas yang masih kosong, dimana bentuk dan corak kertas tersebut nantinya sangat ditentukan oleh bagaimana cara kertas itu ditulisi.    Anak  adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang bersal dari lingkungan. Oleh sebab itu peranan orang tua sangat penting dalam mengisi secarik kertas kosong itu sejak dari bayi.
Locke ( Budiantoro, 2010:3) membedakan adanya dua macam pengalaman yaitu:
1.      pengalaman luar, yaitu pengalaman yang diperoleh dengan melalui panca indera, yang menimbulkan “sensations” dan
2.      pengalaman dalam, yaitu pengalaman mengenai keadaan dan kegiatan batin sendiri, yang menimbulkan “reflexions”.
Kedua macam kesan itu, yaitu sensations dan reflexions merupakan pengertian sederhana (simple ideas), yang kemudian dengan asosiasi membentuk pengertian yang kompleks (complex ideas).
b.      James Mill
Gambar 2. James Mill
 
Pandangan Mill tidak jauh beda dengan pandangan John Locke tentang ide. Hanya disini Mill membedakan antara penginderaan (sensation) dan ide. Penginderaan adalah hasil kontak langsung alat indera manusia dengan rangsangan yang datang dari luar dirinya. Ide adalah semacam salinan atau copy dari penginderaan itu yang muncul dalam ingatan seseorang. Ia beranggapan sulit untuk memisahkan penginderaan dari ide, karena penginderaanlah yang menimbulkan ide dan ide tak mungkin ada tanpa seseorang mengalami penginderaan terlebih dahulu. Kemudian Mill berpendapat bahwa ide-ide dapat dihubungkan satu dengan yang lainnya misalnya meja dan kursi. Mekanisme yang menghubungkan satu ide dengan yang lainnya disebut asosiasi (Hari & Indrayani, 2010:2).
James Mill (Hari & Indrayani, 2010:2) mengemukakan bahwa kuat lemahnya asosiasi ditetapkan oleh tiga kriteria :
1.      Ketetapan (permanency) : Asosiasi yang kuat adalah asosiasi yang permanen, artinya selalu ada kapan saja.
2.      Kepastian (certainty) : Suatu asosiasi adalah kuat kalau orang yang berasosiasi itu benar-benar yakin akan kebenaran asosiasinya itu.
3.      Fasilitas (facility) : Suatu asosiasi akan kuat kalau lingkungan sekitar cukup banyak prasarana atau fasilitas.
c.       John Stuart Mill
Gambar 3. John Stuart Mill
Sumber:
http://www.efm.bris.ac.uk
 
 John Stuart Mill adalah putra dari James Mill  Karena latar belakang dan pendidikan ayahnya itu, John Stuart Mill tertarik pada filsafat dan psikologi.  Pendapat John Stuart Mill mengenai komposisi mental ini berbeda dengan ayahnya. Dalam mengemukakan ajaran-ajarannya J.S. Mill lebih banyak mendasarkan diri pada eksperimen-eksperimen daripada ayahnya yang mendasarkan diri pada pemikiran-pemikiran yang abstrak teoritis saja. James Mill mengatakan bahwa jiwa (mental) merupakan komposisi atau susunan yang tidak terbatas dari elemen-elemennya dan susunan itu dapat diuaraikan ke dalam elemen-elemen dasarnya (Hari & Indrayani, 2010:2).
Sebagaimana ayahnya, J.S. Mill (Hari & Indrayani, 2010:3) memulai ajarannya dari penginderaan dan ide (sensation dan idea). Tapi pandangannya berbeda dari ayahnya yaitu :
1.      Penginderaan dan ide adalah dua hal yang bisa dibedakan dan dipisahkan antara kedua itu, idelah yang sangat penting daripada penginderaan.
2.      Ada 3 hukum asosiasi yaitu :
  Similaritas: persamaan dua hal menyebabkan asosiasi. Merupakan suatu keadaan ketika asosiasi terjadi karena suatu hal mempunyai persamaan dengan satu hal lainnya sehingga kedua hal itu saling dihubungkan. Misal: ketika seseorang teringat akan ibu, secara asosiatif, maka ia akan teringat juga pada ayah, karena baik ayah maupun ibu adalah orang tua.
   Kontiguitas : kelanjutan antara satu hal dengan hal yang lain yang menimbulkan asosiasi. Merupakan hubungan asosiasi yang terjadi karena suatu hal berdekatan dengan hal lainnya, baik dalam hal pengertian ruang maupun waktu. Misal: jika seseorang melihat meja ia akan teringat pada kursi, karena kedua benda itu biasanya selalu berdekatan.
  Intensitas : kekuatan hubungan antara dua hal menimbulkan asosiasi dan karena ragu, beliau mengganti istilah intensitas dengan dua konsep lain yaitu insuperability (tak terpisahkan) dan frekuency (keseringan). Contoh inseparability: jika melihat sebuah sepeda tanpa roda, kita akan berasosiasi pada roda sepeda tersebut, karena sepeda dan rodanya tidak terpisahkan. Contoh frequency: demikian juga jika kita sering sekali melihat A berjalan bersama B. Kalau pada suatu ketika kita melihat A berjalan sendirian, kita akan teringat secara asosiatif pada B.
3.      Ide gabungan (compound idea) bukan sekedar penjumlahan dari ide-ide simple saja, melainkan punya sifat-sifat tersendiri yang lain dari sifat masing-masing simple idea yang membentuk ide gabungan itu.
2.2.3          Konsep Aliran Asosiasi
Para ahli di bidang ini menekankan pada prinsip asosiasi sebagai mekanisme untuk mendapatkan pengalaman. Jadi isi dari mind adalah pengalaman yang didapatkan melalui proses asosiasi terhadap rangsang lingkungan. Pemikiran tentang asosiasi ini terutama berkembang di Inggris dan awal bagi penekanan pada belajar dan memori (Hari & Indrayani, 2010:4). Konsep-konsep aliran ini yakni sebagai berikut:
·         Penjelasan asosiasi berfokus pada penemuan hukum-hukum asosiasi, seperti (1) law of contiguity adalah informasi yang muncul bersamaan secara saling sambung menyambung akan diasosiasikan menjadi satu pengetahuan; (2) law of similarity adalah informasi yang sama akan dikaitkan; (3) law of intensity adalah adanya kombinasi dari elemen dasar yang membentuk sesuatu yang berbeda dari masing-masing elemennya. Pada intinya, penginderaan dan feelings dapat membentuk satu keterkaitan dan masuk bersama ke dalam mind sebagai satu pengetahuan, sehingga apabila salah satu muncul yang lain akan ikut dimunculkan.
·         Ide masuk melalui alat indra dan diasosiasikan berdasarkan prinsip-prinsip tertentu seperti kemiripan, kontras, dan kedekatan.
·         Para ahli yang mengikuti aliran asosiasi berpendapat bahwa pada hakekatnya perkembangan itu adalah proses asosiasi. Bagi para ahli yang mengikuti aliran ini yang primer adalah bagian-bagian, bagian-bagian ada lebih dulu, sedangkan keseluruhan ada kemudian. Bagian-bagian itu terikat satu sama lain menjadi suatu keseluruhan oleh asosiasi. Jadi misalnya bagaimana terbentuknya pengertian lonceng pada anak-anak, mungkin akan diterangkan demikian: mungkin anak anak itu mendengar suara lonceng lalu memperoleh kesan pendengaran bagaimana tentang lonceng; selanjutnya anak-anak itu melihat lonceng tersebut lalu mendapat kesan penglihatan (mengenai warna dan bentuk); selanjutnya mungkin anak itu mempunyai kesan rabaan jika sekiranya dia mempunyai kesempatan untuk meraba lonceng tersebut. Jadi, gambaran mengenai lonceng itu makin lama makin lengkap.
·         Salah satu ciri dari psikologi assosiasi adalah bersifat kausalitas, yang berarti peristiwa-peristiwa dalam jiwa diterangkan dengan adanya perangsang yang berasal dari luar. Manusia merupakan makhluk yang berkembang karena kebiasaan-kebiasaan dan pendidikan yang dapat mempengaruhi sekehendak hatinya.
2.3         DEFINISI PERKEMBANGAN MENURUT KONSEPSI ALIRAN PSIKOLOGI GESTALT

2.3.1          Asal Mula Teori Gestalt
Aliran Psikologi Gestal lahir pada awal abad kedua puluh oleh psikolog Jerman Max Wertheirmer yang dipandang sebagai pendiri dari Psikologi Gestalt, tetapi ia bekerjasama dengan dua temannya, yaitu Kurt Koffka dan Wolfgang Kohler (Danim & Khairil, 2010:34). Wertheimer dianggap sebagai pendiri teori Gestalt setelah dia melakukan eksperimen dengan menggunakan alat yang bernama stroboskop, yaitu alat yang berbentuk kotak dan diberi suatu alat untuk dapat melihat ke dalam kotak itu. Di dalam kotak terdapat dua buah garis yang satu melintang dan yang satu tegak. Kedua gambar tersebut diperlihatkan secara bergantian, dimulai dari garis yang melintang kemudian garis yang tegak, dan diperlihatkan secara terus menerus. Kesan yang muncul adalah garis tersebut bergerak dari tegak ke melintang. Gerakan ini merupakan gerakan yang semu karena sesungguhnya garis tersebut tidak bergerak melainkan dimunculkan secara bergantian (Iwan, 2010:3). Pengikut-pengikut aliran psikologi gestalt mengemukakan konsepsi yang berlawanan dengan konsepsi yang dikemukan oleh para ahli yang mengikuti aliran asosiasi ( Budiantoro, 2010:3).
2.3.2          Tokoh-Tokoh Teori Gestal
a.      Max Wertheimer
Gambar 4. Max Wertheimer
Sumber: http://42gunslinger.wordpress.com
 
            Max Wertheimer adalah tokoh tertua dari tiga serangkai pendiri aliran psikologi Gestalt. Wertheimer dilahirkan di Praha pada tanggal 15 April 1880.  Bersama-sama dengan Wolfgang Koehler dan Kurt Koffka melakukan eksperimen yang akhirnya menelurkan ide Gestalt Konsep pentingnya : Phi phenomenon, yaitu bergeraknya objek statis menjadi rangkaian gerakan yang dinamis setelah dimunculkan dalam waktu singkat dan dengan demikian memungkinkan manusia melakukan interpretasi. Weirthmer menunjuk pada proses interpretasi dari sensasi obyektif yang kita terima. Proses ini terjadi di otak dan sama sekali bukan proses fisik tetapi proses mental (Iwan, 2010:2).
Pada tahun 1923, Wertheimer (Iwan, 2010:3) mengemukakan hukum-hukum Gestalt dalam bukunya yang berjudul “Investigation of Gestalt Theory”. Hukum-hukum itu antara lain:
1.      Hukum Kedekatan (Law of Proximity)
2.      Hukum Ketertutupan ( Law of Closure)
3.      Hukum Kesamaan (Law of Equivalence)

b.      Kurt Koffka
Gambar 5. Kurt Koffka
Sumber:
http://42gunslinger.wordpress.com
 
 Koffka lahir di Berlin tanggal 18 Maret 1886. Kariernya dalam psikologi dimulai sejak dia diberi gelar doktor oleh Universitas Berlin pada tahun 1908. Pada tahun 1910, ia bertemu dengan Wertheimer dan Kohler, bersama kedua orang ini Koffka mendirikan aliran psikologi Gestalt di Berlin. Sumbangan Koffka kepada psikologi adalah penyajian yang sistematis dan pengamalan dari prinsip-prinsip Gestalt dalam rangkaian gejala psikologi, mulai persepsi, belajar, mengingat, sampai kepada psikologi belajar dan psikologi sosial. Teori Koffka tentang belajar didasarkan pada anggapan bahwa belajar dapat diterangkan dengan prinsip-prinsip psikologi Gestalt (Iwan, 2010:3).
Teori Koffka (Iwan, 2010:4) tentang belajar antara lain:
1.      Jejak ingatan (memory traces), adalah suatu pengalaman yang membekas di otak. Jejak-jejak ingatan ini diorganisasikan secara sistematis mengikuti prinsip-prinsip Gestalt dan akan muncul kembali kalau kita mempersepsikan sesuatu yang serupa dengan jejak-jejak ingatan tadi.
2.      Perjalanan waktu berpengaruh terhadap jejak ingatan. Perjalanan waktu itu tidak dapat melemahkan, melainkan menyebabkan terjadinya perubahan jejak, karena jejak tersebut cenderung diperhalus dan disempurnakan untuk mendapat Gestalt yang lebih baik dalam ingatan.
3.      Latihan yang terus menerus akan memperkuat jejak ingatan.
c.       Wolfgang Kohler
Gambar 6. Wolfgang Kohler
Sumber: http://42gunslinger.wordpress.com

 
 Kohler lahir di Reval, Estonia pada tanggal 21 Januari 1887. Kohler berkarier mulai tahun 1913-1920, ia bekerja sebagai Direktur stasiun “Anthrophoid” dari Akademi Ilmu-Ilmu Persia di Teneriffe, di mana pernah melakukan penyelidikannya terhadap inteligensi kera. Hasil kajiannya ditulis dalam buku bertajuk The Mentality of Apes (1925). Eksperimennya adalah : seekor simpanse diletakkan di dalam sangkar. Pisang digantung di atas sangkar. Di dalam sangkar terdapat beberapa kotak berlainan jenis. Mula-mula hewan itu melompat-lompat untuk mendapatkan pisang itu tetapi tidak berhasil. Karena usaha-usaha itu tidak membawa hasil, simpanse itu berhenti sejenak, seolah-olah memikir cara untuk mendapatkan pisang itu. Tiba-tiba hewan itu dapat sesuatu ide dan kemudian menyusun kotak-kotak yang tersedia untuk dijadikan tangga dan memanjatnya untuk mencapai pisang itu (Iwan, 2010:4).
Menurut Kohler apabila organisme dihadapkan pada suatu masalah atau problem, maka akan terjadi ketidakseimbangan kogntitif, dan ini akan berlangsung sampai masalah tersebut terpecahkan. Karena itu, menurut Gestalt apabila terdapat ketidakseimbangan kognitif, hal ini akan mendorong organisme menuju ke arah keseimbangan. Dalam eksperimennya Kohler sampai pada kesimpulan bahwa organisme dalam hal ini simpanse dalam memperoleh pemecahan masalahnya diperoleh dengan pengertian atau dengan insight.
2.3.3          Konsep Teori Gestal
Psikologi Gestalt merupakan salah satu aliran psikologi yang mempelajari suatu gejala sebagai suatu keseluruhan atau totalitas, data-data dalam psikologi Gestalt disebut sebagai phenomena (gejala). Phenomena adalah data yang paling dasar dalam Psikologi Gestalt. Dalam hal ini Psikologi Gestalt sependapat dengan filsafat phenomonologi yang mengatakan bahwa suatu pengalaman harus dilihat secara netral. Dalam suatu phenomena terdapat dua unsur yaitu obyek dan arti. Obyek merupakan sesuatu yang dapat dideskripsikan, setelah tertangkap oleh indera, obyek tersebut menjadi suatu informasi dan sekaligus kita telah memberikan arti pada obyek itu (Iwan, 2010:3).
Bagi para ahli yang mengikuti aliran Gestalt, perkembangan itu adalah proses diferensiasi. Dalam proses diferensiasi itu yang primer adalah keseluruhan, sedangkan bagian-bagian adalah sekunder, bagian-bagian hanya mempunyai arti sebagai bagian dari pada keseluruhan dalam hubungan fungsional dengan bagian-bagian yang lain.  Keseluruhan ada terlebih dahulu baru disusul oleh bagian-bagiannya. Kalau kita ketemu dengan seorang teman misalnya, dari kejauhan yang kita saksikan terlebih dahulu bukanlah bajunya yang baru atau pulpennya yang bagus, atau dahinya yang terluka, melainkan justru teman kita itu sebagai keseluruhan, sebagai Gestalt, baru kemudian menyusul kita saksikan adanya hal-hal khusus tertentu seperti misalnya bajunya yang baru, pulpen yang bagus, dahinya yang terluka dan sebagainya (Budiantoro, 2010:4).
Prinsip-prinsip dasar teori Gestalt (Danim & Khairil, 2010:36) adalah sebagai berrikut:
Ø  Kesamaan
Gambar 7. Logo Elang
Sumber: http://simplifried.com
 
Kesamaan terjadi jika benda terlihat mirip satu sama lain. Orang sering menganggapnya sebagai kelompok atau pola. Contoh pada gambar 7, gambar tersebut terdiri dari sebelas obyek yang berbeda yang muncul sebagai unit tunggal karena semua bentuk memiliki kesamaan. Unitas terjadi karena bentuk segitiga dibagian bawah symbol elang terlihat mirip dengan bentuk yang seperti sinar matahari itu. Ketika kesamaan terjadi, sebuah obyek dapat dipertegas jika berbeda dengan yang lain. Ini disebut anomally. Sosok di paling kanan menjadi titik focus karena berbeda dengan bentuk lain.



Ø  Kelanjutan
Gambar 8. Kelompok Lingkaran
Sumber:
http://jayce-o.blogspot.com
 
Kelanjutan terjadi jika mata dipaksa untuk bergerak melalui satu obyek dan terus ke obyek lain. Kelanjutan terjadi dalam contoh disamping, karena mata secara alami akan mengikuti garis atau kurva. Mata berjalan mengarah dari ujung kiri terus samapai ke ujung kanan.

Ø  Penutupan
Gambar 9. Panda
Sumber: http://jayceo.blogspot.com

 
                          Penutupan terjadi ketika obyek tidak lengkap atau spasi tidak sepenuhnya tertutup. Jika bentuk tanda cukup, orang akan melihat keseluruhan dengan mengisi informasi yang hilang. Meski panda pada gambar 9 tidak lengkap, cukup memungkinkan untuk mata kita menyelesaikan penglihatan atas bentuk yang ada. Ketika persepsi kita menyelesaikan bentuk secara keseluruhan, penutupan terjadi.


Ø  Kedekatan
Kedekatan terjadi ketika elemen ditempatkan berdekatan. Mereka cenderung dianggap sebagai kelompok. Kotak pada gambar 10a ditempatkan tanpa kedekatan. Mereka dianggap sebagai bentuk yang terpisah. Ketika kotak didekatkan, persatuan terjadi. Sementara mereka terus menjadi bentuk yang terpisah, mereka sekarang dianggap sebagai satu kelompok.
 







2.4         DEFINISI PERKEMBANGAN MENURUT KONSEPSI ALIRAN SOSIOLOGIS

Gambar 11. J. Mark Baldwin
Sumber:  http://www.psych.utoronto.ca
 
Para ahli yang mengikuti aliran sosiologis menganggap bahwa perkembangan adalah sosialisasi (Suarni, 2009: 3). Menurut Bandura proses sosialisasi dapat terjadi melalui proses belajar sosial, yang lebih menekankan proses imitasi dalam pembentukan prilaku individu. Anak manusia mula-mula bersifat a-sosial (pra-sosial) yang kemudian dalam perkembangannya sedikit demi sedikit disosialisasikan. Salah seorang ahli yang mempunyai konsepsi demikian itu yang cukup  terkenal dan besar pengaruhnya adalah James Mark Baldwin (Budiantoro, 2010:5). Baldwin adalah seorang ahli dalam lapangan biologi, sosiologi, psikologi dan filsafat, karya utamanya dalam lapangan psikologi perkembangan adalah “Mental Development the Child and the Race”.
Pengaruh Baldwin terutama karena hypotesisnya tentang “Circular reaction”. Dengan berpangkal kepada kesejajaran antara Ontogenesis dan Phulogenesis. Baldwin menerangkan perkembangan sebagai proses sosialisasi dalam bentuk imitasi yang berlangsung dengan adaptasi dan seleksi. Adaptasi dan seleksi ini berlangsung atas dasar hukum efek (law of effect). Juga tingkah laku pribadi diterangkan sebagai imitasi. Kebiasaan adalah imitasi terhadap diri sendiri, sedangkan adaptasi adalah peniruan terhadap orang lain. Oleh efeknya sendiri tingkah laku atau aktivitas dapat dibangunkan atau dipertahankan, oleh efeknya sendiri itu aktivitas mendapatkan faedah atau prestasi yang lebih tinggi. Dalam hal yang demikian inilah terkandung daya kreasi, sehingga manusia mampu menemukan dan menggunakan alat-alat ini timbul daripada peniruan diri sendiri. Dengan meniru akunya orang dewasa anak-anak lama kelamaan timbul besaran akunya. Jadi akunya si anak adalah pemancaran kembali akun yang lain yang menjadi objek peniruannya. Selanjutnya Baldwin (Budiantoro, 2010:5) berpendapat bahwa setidak-tidaknya ada dua macam peniruan yaitu:
1.      nondelierate imitation dan
2.      deliberate imitation
Neondeliberate imitation misalnya terjadi kalau anak meniru gerakan-gerakan, sikap orang dewasa. Deliberate imitation terjadi misalnya kalau anak-anak bermain “peranan social” yaitu misalnya menjadi ibu, penjual kacang, menjadi kondektur, menjadi penumpang kereta api dan sebagainya.
Proses peniruan ini terjadi pada tiga taraf yaitu:
a.       taraf yang pertama yang disebut taraf proyektif (projective stage), pada taraf ini anak mendapatkan kesan mengenai model (objek) yang ditiru.
b.      Taraf yang kedua disebutnya taraf subjektif (subjective stage), pada taraf ini anak cenderung untuk menirukan gerakan-gerakan atau sikap model atau objeknya.
c.       Taraf yang ketiga disebutnya taraf ejektif (ejective stage), pada taraf ini anak telah menguasai hal yang ditirunya itu, dia dapat mengerti bagaimana orang merasa, berangan-angan, berpikir dan sebagainya.
Konsepsi tentang proses sosialisasi ini banyak diikuti oleh ahli-ahli di daerah Anglo Saksis. Istilah-istilah seperti sosial adjustmen, mature and socialized personality, maladjusted children dan sebagainya yang banyak kita jumpai dalam kepustakaan yang berbahasa inggris menunjukkan betapa besarnya pengaruh konsepsi tersebut.
Menyimak pendapat tersebut, maka perkembangan individu dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan yang terjadi dalam diri individu baik fisik maupun psikis dalam rentang kehidupan individu. Dalam proses perubahan tersebut akan terjadi interaksi antara berbagai bentuk kegiatan psikis individu dengan lingkungan luar melalui sensori (Suarni, 2009: 3).






BAB III
PENUTUP
3.1         Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan dan pemaparan pada pembahasan maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.      Definisi perkembangan menurut konsepsi aliran asosiasi adalah pada hakikatnya perkembangan itu adalah proses bahwa asosiasi. Bagi para ahli yang mengikuti aliran ini yang primer adalah bagian-bagian, bagian-bagian ada lebih dahulu, sedangkan keseluruhan ada lebih kemudian. Bagian-bagian terikat satu sama lain menjadi suatu keseluruhan oleh asosiasi.
2.      Definisi perkembangan menurut konsepsi aliran psikologi Gestalt adalah perkembangan itu adalah proses diferensiasi. Dalam proses diferensiasi itu yang primer adalah keseluruhan, sedangkan bagian-bagian adalah sekunder; bagian-bagian hanya mempunyai arti sebagai bagian dari pada keseluruhan dalam hubungan fungsional dengan bagian-bagian yang lain, keseluruhan ada terlebih dahulu baru disusul oleh bagian-bagiannya.
3.      Definisi perkembangan menurut konsepsi aliran Sosiologis adalah suatu proses perubahan yang terjadi dalam diri individu baik fisik maupun psikis dalam rentang kehidupan individu. Dalam proses perubahan tersebut akan terjadi interaksi antara berbagai bentuk kegiatan psikis individu dengan lingkungan luar melalui sensori.
3.2         Saran
Berdasarkan pembahasan dan simpulan, maka saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
1.      Guru hendaknya memahami tingkat perkembangan anak didiknya agar pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan tingkat perkembangan anak didiknya.
2.      Mahasiswa calon guru hendaknya menguasai konsepsi-konsepsi definisi perkembangan     menurut beberapa aliran agar dapat memahami secara teoritik dan menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip perkembangan peserta didik dalam melakukan proses perencanaan, pengembangan, penerapan, pengelolaan, dan penilaian yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.